disalin dari sini
Fathia yang baik,
Pernah kamu bertanya, berapa persen cinta saya pada kamu?
“Tidak sampai seratus persen”.
Kamu mengeluh, dan beberapa hari kemudian mengajukan pertanyaan serupa. Jawaban saya tetap – bukan yang ingin kamu dengar. Di kesempatan lain kamu mengulangi “tekanan politik” dengan mengajukan pertanyaan sama.
Saya tahu kamu lebih suka saya berbohong – dengan mendayu-dayu, dengan mengutip lagu pop atau ungkapan klise remaja di sinetron yang sedang merayu gadis pujaannya, meski tak sampai berlutut atau menyembul dari balik pohon sawo seperti jagoan Bollywood. Karena kali itu saya tak ingin berdusta, maka saya tetap menjawab “tidak seratus persen”. Saya hanya bisa menambahkan bahwa cinta saya – sepanjang yang mampu saya rasakan saat itu – pasti besar, cukup besar untuk membangun sebuah landasan kebersamaan hidup kita. Dan saya pun tidak mengharap kamu mencintai saya seratus persen.
Sampai akhirnya kamu mengerti, dan tiba pada kesimpulan gemilang: “Saya setuju. Saya tahu, kalau cinta kamu seratus persen, kamu tak punya ruang lagi untuk berpikir.”
Dan tanpa ruang sisa itu, cinta akan rutin, dan karenanya membosankan, setidaknya tak mungkin lagi mekar – tak mungkin tumbuh ke berbagai arah yang barangkali tak terduga, tapi lebih kaya. Dan setiap hal yang setinggi seratus persen hanya punya satu arah perubahan: menurun, berkurang, mengalami erosi. Mungkin akhirnya mati.
Cinta memang tak pernah bunuh-diri. Ia biasanya mati karena dibunuh oleh satu atau kedua pelaku yang terlibat dalam percintaan itu.
Kamu seolah memetik buah dari pohon kearifan yang sama dengan yang mengilhami Kahlil Gibran, yang menyarankan supaya dalam kebersamaan tetap harus ada ruang bagi kedua pihak. Kamu menginsafi, perkawinan bukanlah penunggalan dua pribadi, tapi kesepakatan antara dua orang yang punya sejarah personal masing-masing untuk memandang ke satu arah yang sama. Keduanya tak perlu, tak boleh, melebur menyatu.
Sebab harga termurah dari peleburan itu adalah hilangnya diri kita, berubah menjadi bukan siapa-siapa, menjadi bukan apa-apa. Biarlah sudut terpencil di bilik jantungmu turut saya rawat untuk kamu, sambil saya percaya bahwa di sana ada saya. Tolong pelihara juga sudut eksklusif saya.
Dan kemudian kamu setuju menikah.
Sudah tentu saya berterima kasih atas kesediaan yang lekas ini. Seperti kamu, saya pun tak pernah tahu ada statistik tentang tingkat kelanggengan suatu perkawinan berdasarkan lama masa pacaran. Apakah panjang masa pacaran mampu menjamin keawetan sebuah perkawinan? Apakah masa yang singkat berpeluang besar untuk kegagalannya? Saya belum pernah baca data yang meyakinkan.
Yang saya tahu: ada pasangan yang perkawinannya langgeng sampai akhir hayat, setelah melalui masa pacaran yang singkat (atau tak pernah melewatinya sama sekali karena dijodohkan orangtua); ada pasangan yang usia perkawinannya jauh lebih singkat daripada masa pacarannya, sampai para tamu resepsi pernikahan mereka mengeluh: belum habis letih dari menghadiri pestanya, perkawinannya sudah hancur.
Apakah peristiwa-peristiwa seperti itu bagian dari rahasia alam, satu dari misteri kehidupan yang tak terhingga banyaknya? Saya tak tahu. Bahkan, seperti berulang kali saya katakan, saya tak pernah tahu alasan lengkap mengapa saya mencintai kamu.