Permainan, Bagaimana Mengakhiri Tulisan

Oleh Putu Wijaya


Kondisi jiwa pembaca selalu tak diperhitungkan dalam tulisan-tulisan ilmiah, karena ditakutkan emosi akan ikut berbicara. Karena sasarannya adalah pembelajaran bukan permainan.

Karya fiksi, features, dan esai justru mengajak pembaca untuk bermain. Kondisi jiwa pembaca menjadi perhitungan dalam penulisan. Dengan menyampaikan pesan seperti mengajak pembaca bermain, kadang tertangkap kadang terlepas, kadang jelas-gamblang, kadang misterius penuh dengan pertanyaan-pertanyaan, proses penyampaian pesan menjadi peristiwa estafet. Tongkat bergulir dari tangan ke tangan sampai mencapai tangan yang terakhir untuk mengantarkannya ke garis finis. Pelari yang membawa tongkat itu pada etape terakhir adalah pelari yang paling jago.

Menulis pada akhirnya adalah persoalan bagaimana mengakhiri untuk menutup permainan. Sebuah tulisan yang cantik, lugas dan memukau pada akhirnya juga diadili sekali di akhir tulisan. Karena menutup tulisan, sebagaimana juga membukanya adalah peristiwa yang amat penting yang memerlukan kiat dan tenaga.

Ada akhir yang dipestakan dengan kibaran bendera kemenangan. Tetapi kemenangan penulis bisa berarti kekalahan pembaca. Dan kekalahan semacam itu tidak selamanya berarti pengakuan, penghormatan atau ketaklukan. Bisa juga berarti sebaliknya sebagai antipati. Seluruh pukau yang sudah tercipta bisa langsung mubazir bila pembaca akhirnya merasa seluruh tulisan adalah peristiwa kekalahannya.

Ada pembaca yang merasa nikmat dalam kekalahan. Ada penulis yang merasa menang kalau sudah menaklukan. Tetapi kekalahan dan kemenangan semacam itu tidak lama usianya. Kekalahan dan kemenangan yang abadi adalah kekalahan dan kemenangan yang tidak dipestakan. Bahkan disadari pun tidak. Kekalahan dan kemenangan yang abadi adalah kekalahan yang menang dan kemenangan yang kalah. Keduanya datang serentak menyatu dalam satu paket. Sesuatu yang nampaknya mustahil tetapi sudah kita lakukan setiap hari. Karena teori harmoni sudah mendarah-daging dalam kehidupan kita sebagai penghuni dunia di belahan Timur. Dia sudah merupakan jiwa dari tradisi kita. Roh tradisi penulisan kita yang tidak akan memerlukan banyak tenaga untuk mempraktikannya, karena itu sudah ada dan hidup dalam diri kita. Semua kita tinggal memupuk dan menjaga nyalanya agar terus berkobar dalam batas bermanfaat.

Mendung

Bandung mendung pagi ini
dan lagu di bis kota itu bilang,
“Mendung tak berarti hujan..
yakinlah itu suatu cobaan..”

tapi aku tak tahu apa arti cobaan hari ini
aku juga tak tahu apa arti hujan esok hari
mungkin tak seorang pun akan tahu

yang kutahu hanyalah
langit makin mendung
dan hawa jadi dingin

konon, pencerahan selalu dimulai dari gelap, kawan
begitu kata orang
tapi mungkin itu juga ilusi
mungkin itu cuma kata-kata hiburan

Ada makhluk-makhluk, seperti kelelawar,
yang hidup dalam gelap dan tak menyukai terang
*

(Oktober 2008)

*kalimat Ayu Utami dalam novelnya Larung

Tulisan yang Menggigit

Oleh Putu Wijaya

 

 

Bagaimana sebuah tulisan bisa menggigit, adalah persoalan penulisan. Bukan masalah materi. Karena sebuah materi yang besar pun bisa menjadi hambar, apabila tidak dirumuskan dengan baik dalam penulisan. Sebaliknya, masalah-masalah yang sederhana apabila mampu dirakit sedemikian rupa menjadi tajam dan memiliki tenaga tembus sehingga pembaca jadi terusik atau tergugah, ia dapat digolongkan sebagai tulisan yang bagus.

 

Membuat tulisan menjadi tajam, adalah dengan mempersempit sudut bidik, sehingga yang diincar jadi jelas. Dengan memusatkan pikiran kepada sudut bedah itu, masalah tersebut dengan sendirinya seperti diteropong dengan mikroskop. Urat-uratnya menjadikeluar. Kadang diperluan informasi dari penulis, karena pembaca sendiri dapat menyertakan seluruh informasi yang diketahuinya tentang sudut itu, yang membuat titik itu menjadi terang dan tajam.

 

Tetapi menajamkan tulisan juga dapat dilakukan dengan cara sebaliknya. Memperlebar sudut bidik, sehingga setting besar di mana titik/noktah yang diungkap itu berada, bisa tergambar seluruhnya. Dengan membentangkan secara jelas duduk perkaranya, titik itu menjadi tajam dengan sendirinya.

 

Menajamkan tulisan juga dapat dengan cara menghindar dari titik tersebut. Penghindaran yang disengajakan itu, akan menyebabkan titik itu justru memburu-buru bidikan. Dia akan mengejar pembaca dan memamerkan dirinya. Ketajaman sebagai akibat pemburaman ini memang sedikit spekulatif. Namun sangat efektif dipakai dalam menghindari cekalan-cekalan, apabila situasi penulisan tidak bebas karena berbagai kendala atau sensor.

 

Jadi penajaman bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dengan cara menumpulkannya.

Bersambung ke..Permainan, Bagaimana Mengakhiri Tulisan

Katrina

(teringat Oprah Winfrey..)

Setelah amukan badai yang meluluh lantakkan negrinya
seseorang mungkin akan bertanya pada perempuan itu
“Bagaimana mungkin kau akan melewati ini semua?”

Dan di antara puing-puing rumahnya
dan mayat-mayat yang tersisa
perempuan itu akan menjawab
dengan segaris senyum di bibirnya,
“I can live without nothing..”

(Oktober 2008)

Bertemu Nelson Mandela

Perjalanan dari B ke F
dari Batavia ke Buitenzorg

Mendapatkan harta karun tak terduga
Buku otobiografi Nelson Mandela*
Buku yang sudah diincar dan diburu sejak lama
Sampai terlupa..dari sejak masih mahasiswa
Teringat mengobok-obok Palasari, Gramedia,
dan lain sebagainya
Dengan hasil akhir nihil sempurna

Sampai tiba di suatu hari kerja
tepatnya hari Selasa
Mendapatkannya secara iseng tak sengaja
Ketika melihat-lihat di toko buku Karisma
Di sebuah mal di Bogor entah apa namanya

(Selasa, 4 Maret 2008)

*Download Otobiografi Nelson Mandela (pdf)