oleh Putu Wijaya
Sudah sering dibicarakan tentang posisi dari penulis. Apakah penulis dalam menuliskan gagasannya akan memposisikan dirinya sebagai seorang guru kepada murid, atau seorang murid kepada guru, atau juga seorang teman kepada teman yang lain. Yang belum dibicarakan adalah bahwa ketiga posisi itu sebenarnya bernilai sama, apabila ditempatkan sebagai gaya.
Sebuah gaya dalam menulis adalah aksi tambahan yang membuat tulisan menjadi memiliki pesona. Salah kalau gaya ditempatkan hanya sebagai pemoles. Sebab untuk menentukan gaya, itu sangat tergantung dari materi yang hendak disampaikan serta watak dari penulis serta juga kondisi umum dari pembaca. Gaya adalah refleksi gabungan dari hasil studi terhadap materi yang disampaikan, keterbatasan diri penulis dan kondisi konkret pembaca. Gaya tidak menyeruduk begitu saja. Tidak merupakan sekadar jiplakan dari ulah orang lain yang dikagumi. Gaya adalah bagian dari upaya dan strategi dan sama sekali bukan tujuan, meskipun memang sangat memperngaruhi efisiensi dalam mencapai tujuan.
Dengan gaya, tulisan menyusun siasat untuk merebut konsentrasi pembaca agar tetap terkonsentrasikan pada tulisan, baik pada bagian-bagian yang penting, dan khususnya pada bagian-bagian yang kurang menarik. Gaya akan membuat tulisan menjadi semacam tontonan. Gaya adalah irama, adalah musik, adalah dinamika, yang dapat membuat orang lupa pada waktu. Gaya menyulap yang sulit menjadi ringan. Serta yang buram menjadi bening. Gaya yang tepat dan otentik akan membuka hati pembaca dan penulis sendiri di dalam memproses tulisan. Gaya memberikan tenaga. Tetapi sebaliknya, gaya yang hanya sekadar aksi, akan terasa asing. Ia menjadi kanker di dalam tubuh tulisan. Musuh di dalam selimut yang menghancurkan makna tulisan.