debu, duka, dan sebagai-bagainya

(Ulasan Buku)

Judul:  debu, duka, dsb. : Sebuah Pertimbangan Anti-Theodise
Penulis: Goenawan Mohamad
142 Halaman
Penerbit: Tempo, 2011 | PT. Grafitipers
ISBN : 139786029964349

Sesungguhnya ini buku tipis yang “tebal” dan cukup berat bacanya. Menguras habis seluruh cadangan wawasan dan pemahaman sang diri yang cuma secuil ini. Tapi bahasanya memang keren sih, khas seorang Goenawan Mohamad (GM). Banyak yang bisa digali, wawasan, percaturan pandangan, perbenturan pendapat berbagai macam orang dari mulai teolog, filsuf, sastrawan, tokoh politik dunia dan seterusnya, yang ada di buku tipis yang tak lebih dari 142 halaman ini.

Jelas ini buku yang tidak mudah dicerna. Seperti yang dibilang penulisnya sendiri di kalimat akhir kata pembukanya, (buku ini ditulis) dengan harapan: Anda akan sabar membacanya.

Ternyata, kau tau, butuh lebih dari kesabaran untuk menyelesaikan buku ini. Kesabaran dan hal-hal yang tak selesai, if you know what i mean..

Dimulai dari kisah tsunami yang menghantam Aceh, 26 Desember 2004 lalu, GM membahas persoalan “keadilan Tuhan”, mempertanyakan kehadiran duka, malapetaka, bencana, musibah, dan sebagai-bagainya dalam bentuk fragmen-fragmen renungan yang berkembang ke arah yang luas, pelik, mendalam, dan sekali lagi, tidak mudah dicerna dan dipahami.

Buku ini intinya membahas tentang “Tuhan” dan persoalan “keadilan Tuhan”. Risau yang tak pernah punya tepi, sampai akhir zaman, sampai kita tak di sini lagi.

Kata “theodise” sendiri berasal dari ‘theos’ dan ‘dike’, “Tuhan” dan “keadilan”.

Tapi di sini kita bisa bertanya, haruskah Tuhan memberi keadilan?

Manusia boleh berharap dan mengharap. Sementara harapan, kata Vaclav Havel, “bukanlah keyakinan bahwa hal-ikhwal akan berjalan baik, melainkan rasa pasti bahwa ada sesuatu yang bukan hanya omong kosong dalam semua ini, apa pun yang akan terjadi akhirnya” (h.34)

Pembicaraan berkembang dari mulai Chairil Anwar, Amir Hamzah, terus merambat ke Al-Ghazali, Zizek, Voltaire, Leibniz, Rousseau, Marx, Goethe, Nietzsche, meluas ke Camus, Hamlet, Freud, Kafka, Heidegger, Foucault, Kant, Derrida, dan seterusnya dan sebagainya. Helicon, Caligula, Faust, Sisyphus, Arjuna, Karna, ikut hadir meramaikan perbincangan. Debu, duka, dan seterusnya dan sebagai-bagainya.

***

Pernah suatu kali, dulu, saya bertanya-tanya, mana yang lebih dulu: Tuhan atau Sang Waktu? Jawabannya konon sederhana, tapi tidak mudah: Tuhan ada di luar waktu, di luar ruang, di luar kata-kata. Tapi kemudian bagaimana Dia akan disebut, dibahas, jika Ia yang diperbincangkan berada di luar segalanya?

Tuhan Maha-Akbar tapi manusia mungkin tak berbahagia. (h. 11)

Dia adalah “apa yang tidak bisa diucapkan dalam kata-kata, tetapi sesuatu yang dengannya kata-kata diucapkan…Apa yang tak bisa dipikirkan oleh akal, tetapi sesuatu yang dengannya akal berpikir” (Sejarah Tuhan, Karen Amstrong, h. 61-62)

Pada akhirnya, apa yang bisa diperbuat debu di hadapan tuhan dari segala tuhan?

(Pandasurya, Desember 2011)

Sedikit Cerita dari Bienal Sastra Salihara

Di sebuah metropolitan yang katanya setiap orang hanya untuk dirinya sendiri, masihkah ada ruang untuk merayakan sastra? Masihkah sastra diberi tempat?

Gerimis seperti mengikis jalanan Jakarta malam itu.

Saya sedang di tengah perjalanan menuju Salihara. Maksud hati ingin menghadiri acara pementasan musik dan pembacaan puisi di Komunitas Salihara yang mengadakan Bienal Sastra 2011. Jalanan ke arah Pasar Minggu menuju lokasi Salihara seperti biasanya selalu padat tak bersahabat. Selagi di daerah Cipete, Jakarta Selatan, hujan semakin menderas.

Di tengah jalanan basah yang disinari lampu kendaraan di tengah kemacetan, cahaya seperti berpendar dalam tangkapan mata, dan sesuatu melintas di pikiran tanpa permisi, apa yang bisa menjadi inspirasi di tempat semacam ini selain sebersit puisi?

Malam itu Bienal Sastra Salihara menggelar pentas musik dan pembacaan puisi yang menghadirkan Ivan Nestorman, seorang pemusik asal Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, dan 2 orang penyair, Zaim Rofiqi dan Esha Tegar Putra. Acara ini juga diadakan bertepatan untuk merayakan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober. Rencananya acara berlangsung di teater atap Salihara. Namun tersebab malam masih dipeluk hujan maka acara digelar di serambi Salihara.

Sekitar pukul 9 malam acara baru dimulai. Setelah Ayu Utami selaku Direktur Bienal Sastra menyampaikan sedikit kata sambutan, Ivan Nestorman dan bandnya naik ke pentas dan menyapa para hadirin, “Malam baik,” katanya ramah. Sosok Ivan Nestorman yang berambut gimbal sepintas mengingatkan orang pada musisi terkenal Bob Marley. “’Malam baik’ mungkin adalah terjemahan langsung dari ‘goodnight’”, ujar Ivan. Hadirin tersenyum. Lalu lagu Benggong pun mengawang di udara. Sebuah lagu yang unik, indah, bernuansa tropis, etnis. Itu lagu pembuka yang dimainkan Ivan dan bandnya malam itu. Ia mengatakan bahwa lagu Benggong adalah lagu rakyat Manggarai, Flores, yang bercerita tentang perpisahan ketika seorang anak pergi jauh untuk merantau meninggalkan orangtua dan kampung halamannya.

Setelah beberapa lagu acara diselingi dengan pembacaan puisi dari 2 penyair, Zaim Rofiqi dan Esha Tegar Putra. Lalu Ivan dan bandnya kembali ke pentas membawakan musikalisasi puisi “Malam Laut” karya penyair Toto Sudarto Bachtiar, “Surat Kertas Hijau” dan “Dia dan Aku” dari Sitor Situmorang. “Saya orang gunung yang suka laut,” kata Ivan setelah membawakan “Malam Laut” dengan cukup memukau. Selanjutnya beberapa lagu dari Lamalera, Lembata pun mengalun indah. Penonton tampak cukup menikmati sajian musikalisasi puisi yang menghangatkan suasana malam itu.

***

Sejak 8-29 Oktober 2011 lalu Komunitas Salihara mengadakan Bienal Sastra 2011 bertema ‘Klasik Nan Asyik’ di Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Acara ini dibuka dengan diskusi buku Lenka pada 8 Oktober dan diakhiri dengan Adu Puisi dan Pementasan Musik dari Gugun and Blues Shelter pada 29 Oktober lalu.

Rangkaian acara yang menampilkan sejumlah sastrawan, penyair, pemusik ini antara lain berisi pembacaan karya sastra, bincang sastra, ceramah dan diskusi, musikalisasi puisi, dan pementasan musik. Dan acara-acara itu berlangsung gratis tanpa dipungut biaya.

Bienal sastra yang diadakan Komunitas Utan Kayu-Salihara ini berlangsung dua tahunan dan tahun ini adalah yang ke-6. Acara ini bermula dari ide sejumlah sastrawan di Komunitas Utan Kayu yang pernah mengikuti festival sastra di Belanda. Dari sanalah muncul ide untuk mengadakan hal serupa di tanah air untuk memperkaya khazanah kesusastraan melalui unsur-unsur Nusantara maupun dunia.

***

Malam itu saya cukup menikmati dan terkesan dengan acara Bienal Sastra Salihara. Merayakan dan menikmati sastra bagi sebagian orang di Jakarta mungkin juga adalah bagian dari ritual jeda dari penat. Semacam pelepasan dan penghiburan diri dari segala kesumpekan, kepenatan hidup di kota seperti Jakarta.

Dibanding hiburan atau acara lain yang itu-itu saja, rasanya Jakarta tak banyak menyuguhkan acara semacam Bienal Sastra Salihara ini. Meskipun acara ini gratis, menyajikan dan menikmati sastra mungkin juga sebentuk kemewahan di tengah orang-orang yang sehari-harinya hanya sempat memikirkan bagaimana bisa makan hari ini. Sementara sebagian yang lain yang perutnya sudah kenyang dan nyaman, mungkin berpikir selintas tentang sastra pun tidak sempat.

Tapi kita tau, di luar sana masih ada orang-orang yang mau menyempatkan waktu untuk sekadar menikmati puisi karena mereka tau, seperti kata penyair Goenawan Mohamad, sajak adalah sesuatu yang berharga justru karena tak ditanya untuk apa. Guna puisi adalah hadir dengan tanpa guna.

Dan malam itu puisi seolah menegaskan kembali perannya di dunia yang sibuk ini: untuk menghayati keadaan dengan segala ketakbergunaannya. Mungkin tak sepenuhnya tanpa guna. Karena sastra bagaimanapun adalah hasil karya kreatif manusia yang bisa memberi getar pada hidup yang seringkali tak terduga.

Ya, malam itu malam baik dengan sajian musik bernuansa tropis dan sajak-sajak yang menikam pikiran dalam segelas kopi berisi perang, cinta, kuasa, & pengkhianatan.

Dan malam itu lagu Ivan Nestorman masih juga terngiang-ngiang,

“Di Lamalera orang berdansa dengan lautan..

Di Lamalera Lembata orang bercanda dengan lautan. Pemuda menari di pucuk gelombang..”

(Pandasurya, November 2011)