Dari tragedi Mei sampai Bali, bahkan dari jauh hari, ketika peluru berdentam mengoyak tubuh bangsa sendiri, di Aceh, Ambon, Maluku, dan Poso, dari Bangkalan hingga Nunukan, tak terbilang kata dan peristiwa menusia menistakan sesama.
Jika semua ini, Tuhan, dilakukan oleh mereka yang pernah hidup sembilan bulan dalam buaian rahim perempuan, maka Tuhan, demi darah yang mengalir dari rahim Siti Hawa ketika melahirkan manusia, lalu mengasuhnya menjadi khalifah di muka bumi.
Demi darah yang mengucur dari kaki Dewi Kunthi yang berdiri pedih di atas pedang neraca keadilan, bagi putra terkasih pencari kebenaran, Pandawa dan Kurawa. Demi darah yang mengalir dari rahim Ratu Hamamaya ketika melahirkan Sang Sidharta Gautama lalu membimbingnya untuk mendapatkan cahaya.
Demi darah yang mengalir dari rahim Mariam yang melahirkan Isa Almasih, lalu mengajarkannya kasih dan perdamaian. Demi darah yang mengalir dari rahim Aminah, ketika melahirkan Muhammad Sang Nabi, lalu membekalinya dengan hikmah keadilan. Demi darah yang mengalir dari para rahim para ibu kami, ketika melahirkan kami, lalu menimangnya dengan kearifan.
Maka mohon basuhlah tangan-tangan aniaya itu dengan darah syafaat dari para ibu di muka bumi. Beningkanlah mata hati mereka dengan kebeningan air ketuban kaum perempuan. Lunakkanlah jiwa-jiwa angkara mereka dengan detakan jantung kaum ibu yang berirama dan berdegup-degup ketika bersabung nyawa demi kehidupan.
Tuhan, mohon berikan kami kekuatan untuk mengetuk hati mereka, bahwa bencana yang mereka tebarkan tak hanya melukai sesama, melainkan mencabik-cabik ibu mereka sendiri, yang telah berkorban jiwa. Demi kehidupan…..
(Lies, Marcos, “Doa Kehidupan” ditulis seusai shalat subuh pagi itu, Kompas, 28 Oktober 2002)