Rem-nya di Mana?

Humor Gusdur

Tiga orang pemuda sedang naik mobil kaget karena tiba-tiba sebuah motor Harley Davidson mendahului mereka dan pengemudinya berteriak, “Hoooi! Elu sudah pernah naik Harley belum?” lalu dia langsung tancap gas.

“Sialan tuh orang baru naik Harley segitu aja sombong banget, ayo kita kejar!” kata pemuda yang nyetir mobil. “Ayo!” balas temannya. Mobil itu kemudian tancap gas dan berhasil menyalip Harley.

Ngga’ lama kemudian, Harley tersebut berhasil menguber mobil lagi dan pengendara Harleynya berteriak, “Hoooi! Elu sudah pernah naik Harley belum?” Dan Harley itu ngebut lagi ninggalin mobil.

“Biar mampus tuh orang, gua sumpahin tabrakan lu, belagu amat sih!” pemuda yang nyetir mobil keki berat.

Rupanya di persimpangan jalan, Harley tersebut tabrakan dan pengemudinya ketiban motor itu sendiri. Setelah tahu yang tabrakan adalah Harley yang ngeledek mereka, kedua orang pengemudi ini turun dari mobil dan menghampiri pengemudi tersebut.

“Hoi…elu pernah naik Harley enggak?” kata pengemudia Harley sambil meringis kesakitan. “Heh lu tuh udah tabrakan, ketiban motor, masih sombong, mau lu apa sih?” kata salah seorang pemuda yang nyetir mobil dengan sewot.

Lalu pengendara Harley itu ngomong, “Maksudnya, gua mau tanya kalau lo udah pernah naik Harley kasih tau gua rem-nya di mana?”

(ahm, okezone.com)

Pejuang

Setiap pejuang bisa kalah dan terus-menerus kalah tanpa kemenangan, dan kekalahan itulah gurunya yang terlalu mahal dibayarnya. Tetapi biarpun kalah, selama seseorang itu bisa dinamai pejuang dia tidak akan menyerah. Bahasa Indonesia cukup kaya untuk membedakan kalah daripada menyerah

(Pramoedya, Prahara Budaya, h. 187)

Pagi Ini Seperti Pagi Yang Lain

Pagi ini seperti pagi yang lain
Kita akan bercerita tentang hari-hari yang berlalu
tanpa sedikit pun getar dalam hati

Sore itu kau berdiri di sana
menatap kosong ke arah jalanan yang basah
selepas hujan bulan Juli

“Jalanan seperti kaca,” katamu
“Orang-orang lalu-lalang, bergegas, begitu saja
silih berganti, datang dan pergi,
tanpa pernah bercermin
tanpa getar dalam hati

Dan tak seorang pun berani bertanya
untuk apa kita ada di dunia..”

“Mungkin sepi,” jawabku seadanya

Lalu kau berkata lagi,
“Pernahkah kau merasa
tidak pernah merasa..
Kosong..
seperti lagu Monty Tiwa*?”

*Download Mp3 “Kosong” by Monty Tiwa

Lirik lagu “Kosong” by Monty Tiwa

-baca selanjutnya->

Slow Yourself Down..

Seorang perempuan, muda, cantik, Emmy Rossum namanya. Dia tinggal di New York. Dan dia bercerita tentang kota tempat tinggalnya. “Saya lahir dan dibesarkan di New York. Di kota ini kehidupan bergerak sangat cepat,” katanya suatu kali. Dari ceritanya itu, gadis 22 tahun yang juga aktris dan penyanyi ini pun menulis sebuah lagu. “Saya menulisnya di New York dan lagu ini berjudul “Slow Me Down”,” katanya.

“Saya membayangkan dunia bergerak sangat cepat dan kita sulit menahan diri untuk tidak ikut bergerak cepat,“ tuturnya tentang lagu itu. “Jika kita terus bergerak cepat dan tidak memperlambat diri maka kita akan kehilangan banyak hal yang indah di dunia ini.”

Download mp3 “Slow Me Down”

Lihat video klip “Slow Me Down”

Lirik lagu “Slow Me Down”

-baca selanjutnya->

Menulis Adalah Melihat Ke Luar Jendela

oleh Seno Gumira Ajidarmacloud_window1

Menulis adalah proses memindahkan
apa pun yang menarik bagi penulisnya
ke sebuah tulisan.
Apa yang disebut “yang menarik”
bisa saja “sangat tidak menarik”,
pembunuhan misalnya, atau sensus penduduk.
Tapi jika seseorang menulis sesuatu,
justru apalagi dengan terpaksa,
pastilah karena ada sesuatu yang apa boleh buat
akhirnya dipertimbangkan dan diputuskan
sebagai sesuatu yang dianggap penting.

Menarik, penting, dan sebagainya,
adalah sesuatu yang
dilihat, didengar, dirasa, dan dipikirkan,
tak perlu dipilah lagi,
bagaimana yang dirasa,
bagaimana yang dipikir,
segalanya dialami sebagai totalitas–
seperti hidup,
kita tidak berpikir lagi,
“wah, saya sedang bernapas nih,”
atau
“wah, jantung saya sedang berdetak nih,”
:kita hanya hidup saja.

Kita hanya bisa menulis karena kita ini hidup.
Kehidupan adalah jendela penulisan.

-baca selanjutnya

Jalan Seorang Penulis

Oleh Seno Gumira Ajidarma

Seorang penulis mempertaruhkan hidupnya untuk setiap kata terbaik yang bisa dicapainya. Ia menghayati setiap detik dan setiap inci dari gerak hidupnya, demi gagasan yang hanya mungkin dilahirkan oleh momentum yang dialaminya. Menulis adalah suatu momentum. Tulisan yang dilahirkan satu detik ke belakang atau satu detik ke depan akan lain hasilnya, karena memang ada seribu satu faktor yang sebenarnya misterius dalam kelahiran sebuah tulisan.

Meskipun begitu, momentum penulisan bukanlah wahyu. Momentum penulisan selalu mempunyai sumbu sejarah ke masa silam dalam pengertian yang paling absolut. Tentu, kita tak kan pernah tahu persis biang kerok macam apakah yang nangkring di serat-serat dalam sumbu sejarah itu. Namun barangkali saja kita percaya, betapa setiap titik yang terkecil dalam garis perjalanan roh kita, sejak masa entah kapan menuju suatu ruang di masa depan, memberikan sumbangannya masing-masing dalam momentum penulisan. Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.

-baca selanjutnya->

Tuntutan Bagi Seorang Penulis Kolom

oleh Farid Gaban


Kenapa esai astronomi Stephen Hawking (“A Brief History of Time”), observasi antropologis Oscar Lewis (“Children of Sanchez”) dan skripsi Soe Hok Gie tentang Pemberontakan Madiun (“Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan”) bisa kita nikmati seperti sebuah novel? Kenapa tulisan manajemen Bondan Winarno (“Kiat”) dan artikel kedokteran-psikologi Faisal Baraas (“Beranda Kita”) bisa dinikmati seperti cerpen?

Hawking, Lewis, Hok Gie, Bondan dan Baraas adalah beberapa penulis “pakar” yang mampu mentrandensikan tema-tema spesifik menjadi bahan bacaan bagi khalayak yang lebih luas. Tak hanya mengadopsi teknik penulisan populer, mereka juga menerapkan teknik penulisan fiksi secara kreatif dalam esai-esai mereka.

-baca selanjutnya->