Pada Ngiang yang Tenggelam

Pada ngiang yang tenggelam dalam ruang

Dengan senyumnya dia akan berkata perlahan,
“Kembalikan padaNya, an.
Pada yang menghidupkan dan mematikan.
Pada yang punya kuasa atas segala.
Pada yang tak pernah kehilangan apa-apa.”

Selimut duka sederhana

(Juli 2012)

debu, duka, dan sebagai-bagainya

(Ulasan Buku)

Judul:  debu, duka, dsb. : Sebuah Pertimbangan Anti-Theodise
Penulis: Goenawan Mohamad
142 Halaman
Penerbit: Tempo, 2011 | PT. Grafitipers
ISBN : 139786029964349

Sesungguhnya ini buku tipis yang “tebal” dan cukup berat bacanya. Menguras habis seluruh cadangan wawasan dan pemahaman sang diri yang cuma secuil ini. Tapi bahasanya memang keren sih, khas seorang Goenawan Mohamad (GM). Banyak yang bisa digali, wawasan, percaturan pandangan, perbenturan pendapat berbagai macam orang dari mulai teolog, filsuf, sastrawan, tokoh politik dunia dan seterusnya, yang ada di buku tipis yang tak lebih dari 142 halaman ini.

Jelas ini buku yang tidak mudah dicerna. Seperti yang dibilang penulisnya sendiri di kalimat akhir kata pembukanya, (buku ini ditulis) dengan harapan: Anda akan sabar membacanya.

Ternyata, kau tau, butuh lebih dari kesabaran untuk menyelesaikan buku ini. Kesabaran dan hal-hal yang tak selesai, if you know what i mean..

Dimulai dari kisah tsunami yang menghantam Aceh, 26 Desember 2004 lalu, GM membahas persoalan “keadilan Tuhan”, mempertanyakan kehadiran duka, malapetaka, bencana, musibah, dan sebagai-bagainya dalam bentuk fragmen-fragmen renungan yang berkembang ke arah yang luas, pelik, mendalam, dan sekali lagi, tidak mudah dicerna dan dipahami.

Buku ini intinya membahas tentang “Tuhan” dan persoalan “keadilan Tuhan”. Risau yang tak pernah punya tepi, sampai akhir zaman, sampai kita tak di sini lagi.

Kata “theodise” sendiri berasal dari ‘theos’ dan ‘dike’, “Tuhan” dan “keadilan”.

Tapi di sini kita bisa bertanya, haruskah Tuhan memberi keadilan?

Manusia boleh berharap dan mengharap. Sementara harapan, kata Vaclav Havel, “bukanlah keyakinan bahwa hal-ikhwal akan berjalan baik, melainkan rasa pasti bahwa ada sesuatu yang bukan hanya omong kosong dalam semua ini, apa pun yang akan terjadi akhirnya” (h.34)

Pembicaraan berkembang dari mulai Chairil Anwar, Amir Hamzah, terus merambat ke Al-Ghazali, Zizek, Voltaire, Leibniz, Rousseau, Marx, Goethe, Nietzsche, meluas ke Camus, Hamlet, Freud, Kafka, Heidegger, Foucault, Kant, Derrida, dan seterusnya dan sebagainya. Helicon, Caligula, Faust, Sisyphus, Arjuna, Karna, ikut hadir meramaikan perbincangan. Debu, duka, dan seterusnya dan sebagai-bagainya.

***

Pernah suatu kali, dulu, saya bertanya-tanya, mana yang lebih dulu: Tuhan atau Sang Waktu? Jawabannya konon sederhana, tapi tidak mudah: Tuhan ada di luar waktu, di luar ruang, di luar kata-kata. Tapi kemudian bagaimana Dia akan disebut, dibahas, jika Ia yang diperbincangkan berada di luar segalanya?

Tuhan Maha-Akbar tapi manusia mungkin tak berbahagia. (h. 11)

Dia adalah “apa yang tidak bisa diucapkan dalam kata-kata, tetapi sesuatu yang dengannya kata-kata diucapkan…Apa yang tak bisa dipikirkan oleh akal, tetapi sesuatu yang dengannya akal berpikir” (Sejarah Tuhan, Karen Amstrong, h. 61-62)

Pada akhirnya, apa yang bisa diperbuat debu di hadapan tuhan dari segala tuhan?

(Pandasurya, Desember 2011)

Kenapa Membaca Sastra?

open bookDi suatu masa, entah kapan dan di mana
Seseorang mungkin akan bertanya kepadamu,
“Kenapa dirimu membaca sastra?”

Dan inilah jawabmu:
“Karena sastra, yang pertama dan utama, memberi pelajaran tentang hidup
Pelajaran yang tak didapat di ruang-ruang kelas mana pun

Karena sastra adalah seni
Seni bercerita, seni kata, gaya bahasa, pilihan kata,
cara pengungkapan penuh makna

Karena sastra bisa mengetuk pintu hati untuk sampai pada kesadaran
Kesadaran tentang hidup dan kehidupan, tentang kenyataan
tentang ketulusan
tentang diri dan orang lain
tentang kemanusiaan dan dunia
tentang alam semesta, Tuhan dan cinta
dari bilik sunyi hingga ke kedalaman samudra
dari gelapnya rimba belantara hingga ke batas cakrawala

Karena sastra juga berarti menata hati dan pikiran,
segenap panca indra, jiwa dan raga
Karena sastra memberi hati pada duka luka
pada kepedihan, penderitaan dan kebahagiaan
Karena sastra menerbitkan tangis dalam tawa

Selalu ada masanya sastra bisa memberi rasa
bagi mereka yang mati rasa
atau sekadar mencoba berdamai dengan rasa hampa
karena sastra memberi cahaya

Karena sastra menyentuh relung jiwa, menginspirasi sanubari

Dan karena sastra memberi getar pada hidup..”

(Jakarta, Mei-Agustus’09)