Seni dan Pemanasan Global

Diterjemahkan dari “Global Warming and Art” by John Luther Adams

alaska
Sebagian orang mengatakan dunia akan hancur oleh api. Yang lain lagi bilang oleh es. Di sini, di Alaska, wilayah yang diliputi salju dan es, kami mulai merasakan api.

Di musim panas tahun 2000 suku Inupiat di Barrow—pemukiman paling jauh di utara Amerika Utara—mengalami badai petir pertama kali dalam sejarah. Ikan Tuna muncul di Samudera Arctic. Tak seorang pun pernah melihat ikan tuna di Utara ini sebelumnya. Musim dingin berikutnya danau Illiamna di semenanjung Alaska tak membeku samasekali. Tak seorangpun penduduk asli di sana, bahkan para tetuanya, pernah mengingat kejadian ini.

Di Fairbanks untuk pertama kalinya dalam sejarah, suhu tidak turun di bawah 40 derajat. Salju yang turun di bulan-bulan di musim dingin pun hanya sedikit dan angin yang terus-menerus berubah diikuti dengan datangnya musim semi yang terlalu cepat. Ini bukanlah hal yang menggembirakan, atau keganasan alam dari musim semi di wilayah sub-Arctic. Ini adalah proses perlahan menuju kepunahan.

Di tahun ini, sekali lagi musim dingin tak pernah benar-benar hadir. Daerah di bagian tengah selatan Alaska mengalami badai dengan angin paling kencang yang pernah terjadi di sana. Lomba kereta anjing yang biasa dilakukan suku Iditarod terpaksa harus dipindahkan ratusan mil ke utara karena tak adanya cukup salju di kawasan mereka. Di sini, di Fairbanks, suhu rata-rata sepanjang September hingga Februari tercatat sebagai suhu terhangat dalam sejarah. Di bulan November dan kembali di bulan Februari, kami mengalami hujan yang sangat dingin. Di komunitas kecil Salcha, kepingan es di sungai Tanana terpecah dan tersangkut hingga menyebabkan banjir di jalanan dan sekitar pemukiman. Peristiwa ini terjadi di bulan April atau Mei, bukan di saat musim dingin.

-baca selanjutnya->

Sungai Mutiara

Sungai Mutiara

Suatu kali di malam yang dingin, di tepi sebuah jalan di Tokyo, seorang warga Indonesia pernah ditanya seorang arsitek Jepang, “Tahukah Tuan,” tanyanya, “berapa jumlah tenaga listrik yang dipakai oleh mesin jajanan yang menawarkan Coca-Cola dan kripik kentang di seberang jalan itu?”. Yang ditanya tentunya tidak tahu dan hanya menjawab dengan gelengan kepala. Sang arsitek pun menjawab, “Jumlahnya lebih besar ketimbang jumlah tenaga listrik yang tersedia buat seluruh Bangladesh.”

Kita tahu, arsitek Jepang itu rupanya sedang bicara soal ketidakadilan dunia. Sebuah tema yang hingga hari ini selalu tak pernah habis dibicarakan. Untuk lebih jelasnya mungkin kita bisa membayangkan ini: Di suatu tempat di atas bumi ini ada orang-orang yang bisa menikmati segala fasilitas air, listrik, kendaraan, dan energi yang berlimpah yang membuatnya bisa hidup dengan nyaman berlebihan. Tapi kita juga tahu, di detik yang sama, di belahan bumi lain, di tempat-tempat terpencil, di pojok-pojok dunia yang terlupakan, ada orang-orang yang sungguh sengsara menderita karena kesulitan mendapatkan setetes air, listrik, dan kebutuhan lainnya.

-baca selanjutnya->