Tsotsi (Resensi)

tsotsi cover2Hari mulai petang ketika kau bertanya kepadaku: benarkah hanya yang paling kejam yang bisa sejahtera? Aku tahu kau sedang bicara tentang Tsotsi…

***
Pencerahan, kau tahu, bisa dimulai dari keadaan yang paling gelap. Begitulah proses hidup yang dialami Tsotsi, tokoh utama novel ini. Tapi maaf saja, pencerahan itu tidak datang dari sebuah buku, seorang ustad, pendeta, atau kitab suci sekali pun. Pencerahan itu hadir melalui sesosok bayi mungil.

Tsotsi sendiri adalah sebutan untuk gangster di kawasan kumuh dan tertindas bernama Sophiatown di kota Johannesburg, Afrika Selatan, di tahun 1940-an. Athol Fugard dengan tajam menyoroti akibat brutal dari rezim apartheid (diskriminasi ras) yang sangat menindas kaum kulit hitam pada masa itu.

UU Pertanahan 1913 menyebabkan 77% wilayah negara dikuasai dan digunakan kaum kulit putih, sementara sisanya warga kulit hitam harus tinggal di perkampungan-perkampungan kumuh dengan tekanan sosial-ekonomi yang tinggi di pinggiran kota. Bahkan Fugard sempat menulis: “Melihat sistem ini beroperasi, mengajari saya bagaimana caranya bekerja dan apa pengaruh sebenarnya pada manusia.”(hlm. xvii)

Puncak-puncaknya di akhir 1950-an, ketika Fugard menulis novel ini, warga kulit hitam dipaksa memasuki kehidupan bawah tanah, kejahatan pun menawarkan peluang hidup: hanya yang paling kejam yang bisa sejahtera. Mereka memangsa sesama orang Afrika, merampok, membunuh, dan memerkosa tanpa dihukum. Menurut Fugard, pengaruh dari rezim pemerintah ini adalah gugurnya harapan dan terdesaknya orang-orang yang tertindas untuk mengincar orang lain yang lebih rendah darinya dalam rantai makanan. Tsotsi adalah produk dari kondisi brutal semacam ini. (hlm. xix)

-baca selanjutnya->

Indonesia atau Endonesia?

(Versi singkat asal-usul nama Indonesia)

indonesia-batik

“Kau tak kenal bangsamu sendiri…”
–Pramoedya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa)


Selama 64 tahun menjalani kemerdekaannya, sensus penduduk di negeri ini tak pernah mengungkapkan ada berapa juta orang yang tidak tahu tentang asal-usul nama negeri tempat kelahiran dan kematiannya. Hal ini tak perlu disesali benar. Karena ini memang bukan menyangkut soal perut atau “periuk nasi” banyak orang. Juga tak pernah menjadi garis hidup yang menentukan peta nasib seseorang. Perkara asal-usul nama memang bisa dianggap penting atau sebaliknya, tergantung dari sudut pandang mana orang menilainya.

Negeri ini ada di antara dua samudera, itu kata ilmu bumi atau peta geografi. Tapi negeri ini bermula dari satu nama sungai, itu kata ilmu sejarah. Dari Indusnesos menjadi Indunesia dan akhirnya jadilah Indonesia. Indus adalah nama sebuah sungai di India dan nesos berasal dari bahasa Yunani yang artinya ‘gugusan pulau’ atau ‘kepulauan’. Dengan begitu, nama Indonesia punya arti ‘kepulauan India’. Tak ada yang risih atau repot dengan arti nama ini. Dan orang India pun tak pernah keberatan nama negerinya dicatut jadi nama sebuah bangsa.

Seorang pelaut Portugis yaitu Manoel Godinho de Eredia pernah membuat peta yang di dalamnya tercantum nama Luca-antara atau Nuca-antara untuk kepulauan Malaya. Kurang lebih ada kaitannya dengan kerajaan Majapahit di abad ke-15 yang menamakan daerah kekuasaannya dengan nama Nusantara. Sebelum Majapahit ada Kerajaan Singasari yang menamakannya Dipantara, Nusantara di antara dua benua. Lalu pada abad ke-16 Portugis menguasai Indonesia dan menamakannya India Portugis.

-baca selanjutnya->

Ay Lop Yu Pull..

Hari belum lagi siang mbah-surip-2
ketika kabar itu datang
“Mbah Surip dipanggil tuhan
karena tuhan juga butuh hiburan”

Oh ya? Kata siapa?
Kata malaikat di pintu gerbang
“Tuhan juga pengen digendong sama mbah Surip”, katanya

bener toh? mantep toh?
Bahkan tuhan pun butuh dihibur sama Mbah Surip
Bahkan tuhan pun pengen digendong sama Mbah Surip

Maka kalau ada yang bertanya
apa arti bahagia sebenarnya?mbahsurip1
ingatlah sosoknya yang lugu, sederhana,
apa adanya

dan kalau kau sempat bertanya padanya,
Where are you going, mbah?
tentu dia akan menjawab:
Walking..I am walking, my darling..

(Mengenang sosok paling bahagia yang pernah hidup di dunia,
sosok paling tulus, lugu, sederhana, apa adanya..
dan ketawanya yang tiada duanya..
Mbah Surip, 5 Mei 1949-4 Agustus 2009)