Hari mulai petang ketika kau bertanya kepadaku: benarkah hanya yang paling kejam yang bisa sejahtera? Aku tahu kau sedang bicara tentang Tsotsi…
***
Pencerahan, kau tahu, bisa dimulai dari keadaan yang paling gelap. Begitulah proses hidup yang dialami Tsotsi, tokoh utama novel ini. Tapi maaf saja, pencerahan itu tidak datang dari sebuah buku, seorang ustad, pendeta, atau kitab suci sekali pun. Pencerahan itu hadir melalui sesosok bayi mungil.
Tsotsi sendiri adalah sebutan untuk gangster di kawasan kumuh dan tertindas bernama Sophiatown di kota Johannesburg, Afrika Selatan, di tahun 1940-an. Athol Fugard dengan tajam menyoroti akibat brutal dari rezim apartheid (diskriminasi ras) yang sangat menindas kaum kulit hitam pada masa itu.
UU Pertanahan 1913 menyebabkan 77% wilayah negara dikuasai dan digunakan kaum kulit putih, sementara sisanya warga kulit hitam harus tinggal di perkampungan-perkampungan kumuh dengan tekanan sosial-ekonomi yang tinggi di pinggiran kota. Bahkan Fugard sempat menulis: “Melihat sistem ini beroperasi, mengajari saya bagaimana caranya bekerja dan apa pengaruh sebenarnya pada manusia.”(hlm. xvii)
Puncak-puncaknya di akhir 1950-an, ketika Fugard menulis novel ini, warga kulit hitam dipaksa memasuki kehidupan bawah tanah, kejahatan pun menawarkan peluang hidup: hanya yang paling kejam yang bisa sejahtera. Mereka memangsa sesama orang Afrika, merampok, membunuh, dan memerkosa tanpa dihukum. Menurut Fugard, pengaruh dari rezim pemerintah ini adalah gugurnya harapan dan terdesaknya orang-orang yang tertindas untuk mengincar orang lain yang lebih rendah darinya dalam rantai makanan. Tsotsi adalah produk dari kondisi brutal semacam ini. (hlm. xix)