Kenapa Membaca Sastra?

open bookDi suatu masa, entah kapan dan di mana
Seseorang mungkin akan bertanya kepadamu,
“Kenapa dirimu membaca sastra?”

Dan inilah jawabmu:
“Karena sastra, yang pertama dan utama, memberi pelajaran tentang hidup
Pelajaran yang tak didapat di ruang-ruang kelas mana pun

Karena sastra adalah seni
Seni bercerita, seni kata, gaya bahasa, pilihan kata,
cara pengungkapan penuh makna

Karena sastra bisa mengetuk pintu hati untuk sampai pada kesadaran
Kesadaran tentang hidup dan kehidupan, tentang kenyataan
tentang ketulusan
tentang diri dan orang lain
tentang kemanusiaan dan dunia
tentang alam semesta, Tuhan dan cinta
dari bilik sunyi hingga ke kedalaman samudra
dari gelapnya rimba belantara hingga ke batas cakrawala

Karena sastra juga berarti menata hati dan pikiran,
segenap panca indra, jiwa dan raga
Karena sastra memberi hati pada duka luka
pada kepedihan, penderitaan dan kebahagiaan
Karena sastra menerbitkan tangis dalam tawa

Selalu ada masanya sastra bisa memberi rasa
bagi mereka yang mati rasa
atau sekadar mencoba berdamai dengan rasa hampa
karena sastra memberi cahaya

Karena sastra menyentuh relung jiwa, menginspirasi sanubari

Dan karena sastra memberi getar pada hidup..”

(Jakarta, Mei-Agustus’09)

Renungan Kehidupan

little-budha-copyDari tragedi Mei sampai Bali, bahkan dari jauh hari, ketika peluru berdentam mengoyak tubuh bangsa sendiri, di Aceh, Ambon, Maluku, dan Poso, dari Bangkalan hingga Nunukan, tak terbilang kata dan peristiwa menusia menistakan sesama.

Jika semua ini, Tuhan, dilakukan oleh mereka yang pernah hidup sembilan bulan dalam buaian rahim perempuan, maka Tuhan, demi darah yang mengalir dari rahim Siti Hawa ketika melahirkan manusia, lalu mengasuhnya menjadi khalifah di muka bumi.

Demi darah yang mengucur dari kaki Dewi Kunthi yang berdiri pedih di atas pedang neraca keadilan, bagi putra terkasih pencari kebenaran, Pandawa dan Kurawa. Demi darah yang mengalir dari rahim Ratu Hamamaya ketika melahirkan Sang Sidharta Gautama lalu membimbingnya untuk mendapatkan cahaya.

Demi darah yang mengalir dari rahim Mariam yang melahirkan Isa Almasih, lalu mengajarkannya kasih dan perdamaian. Demi darah yang mengalir dari rahim Aminah, ketika melahirkan Muhammad Sang Nabi, lalu membekalinya dengan hikmah keadilan. Demi darah yang mengalir dari para rahim para ibu kami, ketika melahirkan kami, lalu menimangnya dengan kearifan.

Maka mohon basuhlah tangan-tangan aniaya itu dengan darah syafaat dari para ibu di muka bumi. Beningkanlah mata hati mereka dengan kebeningan air ketuban kaum perempuan. Lunakkanlah jiwa-jiwa angkara mereka dengan detakan jantung kaum ibu yang berirama dan berdegup-degup ketika bersabung nyawa demi kehidupan.

Tuhan, mohon berikan kami kekuatan untuk mengetuk hati mereka, bahwa bencana yang mereka tebarkan tak hanya melukai sesama, melainkan mencabik-cabik ibu mereka sendiri, yang telah berkorban jiwa. Demi kehidupan…..

(Lies, Marcos, “Doa Kehidupan” ditulis seusai shalat subuh pagi itu, Kompas, 28 Oktober 2002)

Realis-Pesimis

Seorang yang berani melihat fakta-fakta realis mau tidak mau akan mempunyai nada yang pesimis. Freud begitu kecewa karena orang-orang selalu berusaha hidup dari ilusi-ilusinya dan berusaha sekuat tenaga untuk menolak realitas kehidupan..

(Catatan Seorang Demonstran, Soe Hok Gie, h. 94)