Surat Neptunus Buat Dewi ‘Dee’ Lestari

perahu kertas

(Resensi novel “Perahu Kertas” Dee)

Hai Dee yang baik,

Perkenalkan, saya salah seorang pembaca Perahu Kertas (PK). Kita memang belum pernah kenal sebelumnya. Tapi pastinya saya sudah tau seorang Dewi “Dee’ Lestari karena kamu penulis dan penyanyi terkenal di negeri ini.

Kalau boleh, Dee, izinkan saya menulis surat ini. Anggaplah ini sekadar kesan-kesan saya setelah membaca PK. Tapi mungkin saya nggak akan menghanyutkannya surat ini di sungai, kali, apalagi lautan.

Baiklah, saya mulai ya.
Pastinya kita semua tau, Dee, manusia tak pernah lahir dari batu atau jatuh dari langit. Manusia adalah produk lingkungannya. Ia terbentuk dari pengalaman-pengalaman hidup tempat di mana ia lahir, tumbuh, dan mati. Termasuk di dalamnya pengalaman membaca seseorang.

Pernah suatu kali di malam yang sepi, sambil memegang sebuah buku, saya merenungkan sebuah pertanyaan iseng: bisakah kita membaca sebuah buku tanpa membawa serta pengalaman membaca kita sebelumnya? Atau lebih jauh lagi, bisakah kita membaca sebuah buku tanpa mengikutsertakan pengalaman hidup kita selama ini yang terkait dengan buku, musik, atau film misalnya? Dalam bahasa sederhana: bisakah kita mengosongkan dahulu semua panca indera kita, segala pikiran dan hati kita ketika akan membaca sebuah buku?

Seperti ajaran Zen yang terkenal itu, cangkir haruslah kosong sebelum kita menuangkan air ke dalamnya. Tapi bisakah kita seperti itu, Dee? Tiap kali saya mengingat pertanyaan itu, tiap kali itu pula saya teringat kalimat sakti yang satu itu, “manusia tak pernah lahir dari batu.”

Pengalaman kita membaca akan mempengaruhi cara kita mengapresiasi sebuah buku. Artinya, tiap kali kita membaca sebuah buku maka mau tidak mau kita akan mengingat pengalaman membaca kita sebelumnya. Seperti itulah yang saya rasakan ketika membaca PK ini, Dee.

Terus terang saja saya tidak banyak membaca novel kisah cinta sebelumnya. Dan dari pengalaman membaca saya yang masih pendek ini, saya hanya teringat beberapa kisah yang menjadi favorit saya. Di antaranya kisah cinta Minke-Annelies dalam Bumi Manusia (BM)-nya Pramoedya, Rasus-Srintil di Ronggeng Dukuh Paruk (RDP)-nya Ahmad Tohari dan kisah cinta Teto-Atik di Burung-burung Manyar (BBM)-nya Mangunwijaya. Dan apa boleh buat, ketiga kisah cinta itu tidaklah berakhir happy-ending.

Bahkan kita semua sudah tau, Dee, kisah cinta legendaris yang tragis seperti Siti Nurbaya atau Romeo dan Juliet. Atau Jack dan Rose di film fenomenal Titanic. Dan baru-baru ini kita juga tau, kisah cinta Anang-Krisdayanti pun sudah berakhir di layar infotainment.

Satu-satunya kisah cinta happy-ending yang saya ingat hanyalah dongeng indah Cinderela. Well, sekarang tambah satu lagi, Keenan dan Kugy di PK ini.

Dee yang ramah,

Kata orang, tak ada yang benar-benar baru di bawah langit yang sama. Dan rasanya sudah tak terhitung lagi berapa banyak kisah cinta yang pernah ditulis manusia. Ada yang penuh konflik, warna-warni. Tapi ada juga yang sederhana tapi bersahaja dan penuh makna. Tema cinta menjadi sesuatu yang biasa dan klise. Tapi sepanjangan peradaban manusia tetap saja banyak orang sangat menyukainya. Mengapa? Karena meski tema cinta adalah tema yang standar dan biasa namun setiap kisah cinta yang menarik pasti punya kemasan yang menggetarkan dan berbeda dari biasanya.

Konon, seorang penulis baru disebut penulis bukan karena apa yang ditulisnya melainkan bagaimana cara dia menuliskannya. Sartre yang mengatakan itu, Dee. Maaf, bukan maksud hati menggurui. Saya hanya ingin berbagi. Seorang Dee juga pasti tau betul soal ini.

Maka dari pengalaman membaca ketiga novel tadi itulah (BM, RDP, BBM) mau tidak mau saya membandingkan kisah cinta di PK ini. Maafkan saya, Dee, jika perbandingan ini tidaklah pantas atau terlalu “kejam” karena memang hanya ketiga novel favorit saya itulah yang jadi kitab pegangan dan patokan saya selama ini.

Jadi, inilah yang ingin saya katakan tentang PK, Dee.
Pertama, saya membacanya karena dipinjamkan seorang teman. Kamu harus baca novel ini, katanya. Ceritanya indah mengharukan. So sweet, katanya lagi. Maka jadilah saya menunda bacaan lain demi membaca novel yang di lembar pertamanya ada tanda tangan kamu Dee.

Kedua, desain sampul bukunya bagus. Membuat mata orang langsung tertarik untuk meraih buku ini dan mengetahui isinya. Kredo “Don’t judge a book by its cover” tak berlaku di sini karena memang cover PK ini cukup bagus. Dengan kata lain, dari sisi strategi pemasaran covernya sudah cukup berhasil. Terus terang saja, cover BM, RDP, dan BBM tadi masih kalah menarik dengan PK ini.

Yang ketiga, maaf, bagi saya ceritanya kok lebih mirip sinetron atau film TV ya. Pelem bangetlah. Pasti saya bukan satu-satunya yang berpendapat begini. Bahkan menurut saya, novel ini sangat potensial untuk bisa diadaptasi menjadi skenario sinetron, FTV atau film layar lebar. Hampir pasti menjual dan sangat komersil. Tipikal kisah cinta di mana 3 kata sakti “aku cinta padamu” seolah wajib diucapkan.

Alur ceritanya memang mudah ditebak. A ketemu B, jatuh cinta. Sebelumnya B sudah pacaran dengan C. A & B memendam perasaan masing-masing. Lalu A ketemu D, B ketemu E. dst. Dan endingnya sepertinya memang harus memuaskan hati sang penulis dan pembaca (di sinilah sisi komersil nge-popnya) bahwa akhirnya A memang jadi dengan B. Sementara C, D, & E entah bagaimana nasibnya.

Jodoh boleh di tangan Tuhan, kata orang. Tapi maaf saja, dalam hal PK ini jodoh di tangan sang penulis (inilah enaknya menjadi penulis ya, Dee, kita bisa menjelma jadi tuhan meski hanya dengan “t” kecil). Dan untunglah di novel ini tak ada kisah “cinta ditolak, dukun bertindak”. Jika itu terjadi tentu konflik akan lebih panjang dan menambah tebal jumlah halaman. Ujung-ujungnya menambah ongkos cetak dan harga buku. Banyak pembaca tentu akan keberatan karena mereka pastinya mengharapkan harga diskon selalu.

Yup, begitulah plot ceritanya. Memang terlalu kentara dirancang sedemikian rupa, dengan sejumlah “kebetulan-kebetulan” yang ada. Mungkin memang sengaja dirancang menjadi bagian dari kisah kebetulan “radar Neptunus”.

“Kebetulan” Kugy harus ikut ke stasiun menjemput Keenan (h. 18). “Kebetulan” Kugy dan Keenan berzodiak Aquarius (h.33). “Kebetulan” Kugy dan Keenan bertemu lagi di sebuah warung di Stasiun KA Citatah dalam perjalanan ke Jakarta (h.60). “Kebetulan” Keenan diminta menjadi guru menggambar di Sakola Alit tempat Kugy mengajar (h. 105). “Kebetulan” Remi adalah penggemar lukisan Keenan (h. 210). “Kebetulan” Kugy bekerja di tempat Remi (h.250). “Kebetulan” Pak Wayan adalah cinta sejati ibunya Keenan (h. 298). “Kebetulan” Luhde juga senang menulis cerita dongeng anak-anak seperti Kugy (h. 376). Dan akhirnya “kebetulan” Keenan dan Kugy bertemu lagi di Pantai Ranca Buaya (h. 432). And they live happily ever after..

Ternyata di novel ini hidup adalah rangkaian sederet “kebetulan”.

Dengan bangunan cerita yang seperti itu, tak heran jika saya menamatkan novel 444 halaman ini dalam waktu yang cukup singkat. Kurang lebih hanya 2 hari. Saya adalah pembaca yang lambat, Dee, tapi satu-satunya alasan kenapa saya menamatkan novel ini cukup cepat adalah karena terus terang saja banyak sejumlah kalimat, paragraf, dan halaman yang saya lewati karena semata-mata saya sudah tau bakal seperti apa ujungnya. Dan dugaan saya ternyata memang tidak meleset.

Yang keempat, menurut saya gaya bahasa novel ini cukup ringan, tipikal seorang Dee (saya hanya pernah membaca Supernova), lebih nge-pop dan sekaligus menjadikan novel ini bergenre novel pop. Pilihan kata dan kalimatnya pun bagi saya tidak terlalu istimewa. Puitis? Hmm..yah puitis yang begitulah. Puitis yang standar, umum. Meski begitu, harus saya akui, ada beberapa kutipan yang juga saya sukai.

Mengharukan? Membuat pembaca bisa berurai air mata? Teman saya yang meminjamkan buku ini pasti menjawab iya. Di malam yang sepi itu dia mengaku sampai berlinang air mata terutama ketika membaca surat pendek Kugy di h. 312.

Kondisi dan suasana alur ceritanya rupanya memang dirancang untuk membuat pembaca terharu hingga berurai air mata. Bukan seperti kisah yang bisa membuat pembaca terharu tanpa diminta, tanpa dikondisikan, tanpa jelas-jelas dirancang.

Tapi bagaimana pun juga, melalui novel ini kamu sudah berhasil membuat sejumlah orang meneteskan air mata, Dee.

Kalau saja gaya bahasa dan plot ceritanya bisa lebih dimaksimalkan, dibuat lebih dahsyat, mungkin jadinya akan lebih berkesan dan menggetarkan. Entahlah.

Dee yang cantik,

Rasanya memang benar kata orang, pada akhirnya kita tak bisa berdebat soal selera. Itulah kalimat pamungkas yang biasa dikatakan orang jika mereka berbeda pendapat soal buku, lagu, film atau makanan.

Maka bicara soal selera terpaksa saya harus mengatakan bahwa saya jauh lebih menyukai dan mengagumi BM, RDP dan BBM ketimbang PK ini. Bagi saya ketiga novel favorit itu sangat berkesan, membekas dalam, dan masih terngiang-ngiang hingga kini. Alur dan bangunan cerita, setting, gaya bahasa, dan penokohannya masih lebih kaya dan berkarakter kuat. Apa boleh buat, akhirnya bagi saya novel PK ini rasanya tidak dibaca pun tidak apa-apa. Maaf.

Oh ya, setelah menamatkan novel ini ada satu hal yang ingin saya tanyakan, Dee. Seperti yang Keenan ingat di h. 46, Kugy pernah bilang, terkadang kita harus menjadi sesuatu yang bukan diri kita dulu untuk kemudian menjadi diri kita yang asli. Berputar menjadi sesuatu yang bukan kita, demi bisa menjadi diri kita lagi.

Jadi, apakah selama ini, ya selama ini, seorang Dewi ‘Dee’ Lestari sebenarnya ingin menjadi penulis dongeng, bukan penyanyi atau penulis novel?

Maaf, Dee, seperti yang kamu tulis di h. 430, mungkin semua ini terlalu getir. Namun, inilah kejujuran…

By the way, saya jelas bukan Dewa Neptunus yang tinggal di lautan. Saya hanya seorang Pandasurya, yang bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa.

Mungkin benar kata orang, terkadang untuk mencapai sesuatu, kita memang harus melepaskan segalanya, termasuk impian kita yang paling dalam…

(Bandung, Oktober’09)

7 thoughts on “Surat Neptunus Buat Dewi ‘Dee’ Lestari

  1. Kisah Minke dan Annelis memang kisah cinta yang unik, jika diukur dari kisah cinta di masa tahun 20-an. Walau pada akhirnya cinta ditangan penulis juga, tapi saya setuju. Ini adalah kisah cinta yang unik yang pernah ditulis oleh pengarang Indonesia. Hidup Pram!

  2. hmm menurut gw Bumi Manusia mmg kuat bgt… tetap jadi buku favorit gw…

    Perahu kertas gw setuju mmg alurnya seperti film bgt…

    Tapi gw tetep suka PK…..

  3. Haha… ujung2nya balik lagi kan? masalah selera?
    Btw, mas Panda, kayaknya bukan masalah kalau banyak unsur ‘kebetulan’ di PK. Di kehidupan nyata, ada juga lo, kuantitas ‘kebetulan’ yang lebih banyak terjadi dibanding yang dialurkan di PK. Itu relatif. (‘Kebetulan’ juga kan, Verbruggen pernah cinta mati sama ibunya Teto?)

    Mbak Dee backgroundnya kan emang entertainer, wajarlah kalau karya yang dibikin cenderung bersifat ‘menghibur'(istilah anda: komersil) pembacanya. Mestinya nggak perlu lagi dibandingkan dengan BBM-nya pak Mangunwijaya, beliau kan murni sastrawan, bahkan mungkin termasuk seorang purist. Namanya juga unsur ekstrinsik karya sastra.

    Analogi pembaca dua novel tersebut juga sudah seperti antara karnivora sama herbivora(cuma perumpamaan loh). Meski karnivora mungkin bisa mengunyah dan menelan tumbuhan untuk makan seperti layaknya herbivora, tetap saja, yang sejati bagi mereka tetaplah daging. Begitupun juga untuk herbivora.

    Oh ya, Mbak Dee udah jawab belum pertanyaan mas yang di-bold paling terakhir itu? tentang hal di h. 46? Daripada cuma jadi pajangan di sini, mending klo tanya hal begituan langsung ke orangnya Mas. Selain lebih efektif, kayaknya juga lebih etis.

    N.B.
    Kebetulan. Saya juga penggemar BBM.

  4. hhaaa… kebetulan lagi suka matahari, kebetulan ketemu blog ini, lalu jadi kebetulan suka cek-cek blog ini, sampai kebetulan di pin tab biar ga lupa alamat webnya…
    dan kebetulannya masih banyak, termasuk kebetulan jadi yang paling baru komen aaahhaaa

Leave a comment