Kebenaran Itu Ibarat Cicak

Tulisan ini berawal dari sebuah film dan akan berakhir pada sebuah film.

“The truth is out there”, kata film seri terkenal The X-Files. Kebenaran itu ada di luar sana. Kalimat itu seperti menyiratkan bahwa kebenaran yang ada di luar sana bisa dicari, bisa ditemukan, meski tidak mudah. Tapi siapa yang merasa perlu mencari kebenaran itu? Buku Elemen-elemen Jurnalisme ini memberi jawab: wartawanlah yang mencari dan menyampaikan karena ada warga yang membutuhkan. Tapi tentu  wartawan bukanlah Nabi atau orang suci. Buku ini menjelaskan tentang apa yang seharusnya diketahui dan dilakukan wartawan serta yang diharapkan publik (warga).

Kebenaran itu ibarat cicak, kata Turgenev sastrawan Rusia. Yang kita tangkap selalu cuma ekornya, yang menggelepar seperti hidup—sementara cicak itu sendiri lepas.  Di zaman banjir informasi ini kebenaran dalam bentuk berita ada di tangan media. Untuk itulah buku ini ada. Elemen –elemen jurnalisme media  yang harus menjadi pegangan wartawan untuk mencapai kebenaran dijelaskan dalam buku ini. Dan hal itu juga sepatutnya diketahui warga masyarakat. Buku ini penting sekali.

***

Saat ini tidak semua orang menyadari dan mau mengakui bahwa hidup kita sudah diatur oleh media. Sesungguhnya, secara langsung maupun tidak, media telah mengatur bagaimana kita hidup, bagaimana kita bertindak, hingga bagaimana kita berpikir, apa isi pikiran kita, hingga ke sudut terpencil dan terdalam batin kita.

Tapi di hari-hari ini, di tengah berita-berita tentang Osama, Briptu Norman, dan DPR yang memuakkan, mungkin hanya segelintir orang yang masih menyempatkan waktu untuk bertanya-tanya, apa arti berita di tengah deburan ombak gosip yang tayang tanpa henti membanjiri? Belum lagi dalam hitungan menit bahkan detik informasi bisa mengalir deras dari layar monitor alat komunikasi di zaman canggih ini.

-baca selanjutnya

Menulis Butuh Tahu dan Berani

Oleh Andreas Harsono

Untuk Luh Putu Ernila Utami di Bali,

Aku tidak menulis makalah saat aku membawakan sesi soal menulis itu. Minggu lalu, aku mulanya mengira sesi itu akan dilakukan dengan format kecil, 10-15 orang, dengan diskusi hangat dan suasana temaram. Ternyata pesertanya 40-an orang dengan ruang besar, meja raksasa, kursi berlengan, serta kebisingan jalan tol.

Intinya, aku cuma mengajak para peserta, para aktivis itu, berpikir ulang soal bagaimana mereka bisa menulis yang menarik sekaligus mendalam.

Aku tahu banyak dari kalian punya pengalaman dahsyat. Dari bikin demonstrasi anti kabel listrik voltage tinggi hingga pemogokan angkutan umum. Dari Bali sampai Maumere, dari Salatiga sampai Makassar. Ini semua bahan-bahan menarik untuk diceritakan.

Kalian melawan polisi. Kalian melawan bupati. Kalian melawan partai. Kalian bahkan ada yang melawan negara. Aduh, itu cerita berminyak untuk ditulis gurih dan diceritakan renyah untuk orang lain. Pramoedya Ananta Toer dalam Khotbah dari Jalan Hidup mengatakan, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Ada dua syarat sederhana bila kau ingin ingin “bekerja untuk keabadian”: kau harus tahu dan kau harus berani.

Kau harus benar-benar menguasai isu yang kau tulis. Janganlah kau menulis soal “peningkatan sumber daya manusia dan ekonomi masyarakat” atau “globalisasi dalam kaitannya dengan Pancasila serta Islam” dan sebagainya. Kata-kata itu cuma jargon.

Kau jangan membebek orang lain menulis. Mereka sok pinter. Mereka sering tak tahu perdebatan-perdebatan yang sudah dilakukan orang-orang macam Michael Sandel dan Thomas Friedman soal globalisasi. Mereka tak tahu kebohongan Muh. Yamin atau Nugroho Notosusanto dengan apa yang dinamakan Pancasila. Ada ratusan teori soal demokrasi dan mereka belum baca tuntas semuanya. Pakai kata-kata sederhana. Kalimat pendek-pendek.

Lebih baik kau tulis masalah sehari-hari. Penyair Widji Thukul menulis masalah sehari-hari bila memulai syairnya. “Tadinya aku pengin bilang: aku butuh rumah tapi lantas kuganti dengan kalimat: setiap orang butuh tanah. Ingat: setiap orang!” tulis Thukul dalam Tentang Sebuah Gerakan.

Sederhana sekali.

Kalau kau mau “tahu” maka kau harus bikin riset. Kau harus baca buku. Kau harus wawancara orang. Minta izin bila hendak mengutip omongan orang. Harus jujur. Harus transparan. Kau tulis masalah listrik naik di subak kau. Kau tulis soal kesulitan tetangga kau si tukang jahit. Kau tulis tentang orang-orang biasa. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Semua keterangan itu harus kau saring. Carilah kebenaran.

Mulailah dari hal kecil. Kelak tanpa sadar kau akan baca makin banyak buku. Kau akan wawancara ribuan orang. Kelak tanpa sadar kau bisa menulis soal kebohongan dan kejahatan para petinggi negeri kita.

Tetapi “tahu” saja tidak cukup. Kau harus punya keberanian, punya nyali untuk menyatakan pikiran kau. Pramoedya dan Thukul adalah orang berani. Pram dipenjara Belanda, Soekarno dan Soeharto. Perpustakaan Pram dibakar tentara. Bukunya habis. Kupingnya budek gara-gara hajaran serdadu. Thukul bahkan diculik dan hilang hingga hari ini.

Mereka tahu kesusahan si tukang jahit atau si jongos. Mereka berani pula menulis untuk membela si kecil.

Menulis adalah “laku moral.” Kita bicara soal kebenaran. Kau harus berani menyatakan kebenaran. Aku kenal banyak wartawan di ibukota negeri ini. Mereka tahu soal kebusukan petinggi negeri ini. Mereka tahu redaktur mereka mulai sering ditelepon bedinde-bedinde si petinggi. Kok nulis ini? Kok nulis itu? Tapi mereka tak punya keberanian. Mereka takut bisnis mereka terganggu. Maka “himbauan” si bedinde diikuti.

Akibatnya, banyak cerita di belakang layar yang tak ditulis di negeri ini. Kau maklum saja. Mereka tak punya keberanian macam Pram atau Thukul. Mereka lebih takut ditegur redakturnya. Mereka ketakutan macam anjing sembunyi ekor di balik pantat.

Jadi, kalau kau mau menulis, hanya dua syarat sederhana. Kau harus tahu sekecil apapun yang kau tulis. Kau harus berani.

Itulah inti dari sesi pelajaran menulis di Jakarta minggu lalu. Aku harap surat kecil ini membantu kau memahaminya. Terima kasih karena kau sudah rela sedia tenaga mengambil makanan untuk rekan-rekan kau.

Tips Penulisan-Artikel Kiat

Oleh Farid Gaban

Menjadi penulis lepas adalah cita-cita yang nyaman. Hobi yang bisa mendatangkan uang ini bisa dikerjakan di rumah dan bisa menjadi pekerjaan sambilan hampir tanpa modal.

Tak heran jika di banyak negara, menulis freelance artikel untuk koran dan majalah tetap menjadi jenis pekerjaan favorit bagi kaum perempuan meski mereka telah merambah ke banyak profesi. Ibu-ibu muda bisa mencari nafkah dari rumah seraya mengaktualisasikan dan mengekspresikan diri.

Kian banyak majalah membutuhkan artikel dari freelancer. Banyak media bersaing di segmentasi yang kian ketat serta dikelola oleh tim yang makin kecil dan karenanya membutuhkan pasokan tulisan dari freelancer.

Tidak semua artikel di majalah bersifat serius seperti komentar politik, budaya atau sosial. Di tengah luasnya bahan bacaan, yang membuat banyak orang merasa “terlalu banyak sehingga tak terbaca”, tulisan-tulisan yang pendek dan bersifat praktis kian digemari. Inilah yang menjelaskan kian populernya majalah-majalah praktis seperti bagaimana menata rumah, bertaman, dan mengelola keuangan pribadi.

Tradisi freelancer belum banyak berkembang di Indonesia. Honor tulisan di koran atau majalah relatif kecil. Yang pertama-tama bisa dilakukan penulis pemula adalah memperluas pemuatan artikel. Salah satunya dengan menganekaragamkan jenis artikel yang ditulis.

-baca selanjutnya->

Teknik Penulisan Kolom

Oleh Farid Gaban

Mencari ide tulisan
Ada banyak sekali tema di sekitar kita. Namun kita hanya bisa menemukannya jika memiliki kepekaan. Jika kita banyak melihat dan mengamati lingkungan, lalu menuliskannya dalam catatan harian, ide tulisan sebenarnya “sudah ada di situ” tanpa kita perlu mencarinya.

Tema itu bahkan terlalu banyak sehingga kita kesulitan memilihnya. Untuk mempersempit pilihan, pertimbangkan aspek signifikansi (apa pentingnya buat pembaca) dan aktualitas (apakah tema itu tidak terlampau basi).

Merumuskan masalah
Esai yang baik umumnya ringkas (“Less is more” kata Ernest Hemingway) dan fokus. Untuk bisa menjamin esai itu ditulis secara sederhana, ringkas tapi padat, pertama-tama kita harus bisa merumuskan apa yang akan kita tulis dalam sebuah kalimat pendek.

Rumusan itu akan merupakan fondasi tulisan. Tulisan yang baik adalah bangunan arsitektur yang kokoh fondasinya, bukan interior yang indah (kata-kata yang mendayu-dayu) tapi keropos dasarnya.

-baca selanjutnya->

Memberi Ruh Pada Berita (2-habis)

oleh Farid Gaban

BOKS 1: JANGAN PUNYA BELAS KASIHAN

Untuk menghindari berpanjang lebar, penulis harus mempersoalkan setiap bagian materi yang dipakai, sebelum dan sesudah tulisan dikerjakan.

Lihat pada laporan yang dibuat reporter maupun bahan yang Anda kumpulkan sendiri. Pe-riksa setiap potong informasi, untuk mengetahui apakah itu cukup relevan, cukup punya hubungan yang jelas, dengan pokok persoalan. Bila tidak relevan atau tidak membantu Anda mencapai sasaran pokok, yaitu bercerita secara efektif, singkirkan atau coret saja, sehingga nanti tidak akan mengganggu. Jangan punya belas kasihan: bila materi tidak relevan, buang!

Setelah Anda menulis, perhatikan setiap blok materi yang Anda pakai. Apakah masih ada hubungan yang jelas dengan fokus cerita? Kalaupun relevan, apakah ia menambahkan sesuatu yang berharga dalam usaha Anda bercerita? Bila tidak, erase saja karena hal itu hanya akan mengurangi efektifitas penulisan Anda.

-baca selanjutnya->

Memberi Ruh Pada Berita (1)

Oleh Farid Gaban

Tugas seorang penulis adalah membuat sesuatu informasi yang dikumpulkan dan dila-porkan menjadi jelas bagi pembaca. Ketidakmampuan menekankan kejelasan adalah ke-gagalan seorang penulis.

Dan karena informasi dan gagasan seringkali beku dan tanpa jiwa, menjadi tugas seorang penulis pula untuk mencairkan, mengemas, dan menyajikan informasi itu menjadi sajian penuh vitalitas (vigorous) serta elok (graceful) sehingga mampu menggaet dan me-melihara minat pembaca untuk menyerap seluruh informasi yang disampaikan.

ELEMEN KEJELASAN

Singkat

Tulisan yang jelas umumnya bukan tulisan yang panjang lebar, melainkan justru ringkas dan terfokus. Ingat Hemingway? ”Less is more!”

Tulisan yang ringkas memberi kesan tangkas dan penuh vitalitas. Tanpa kata mubazir da-lam kalimatnya dan tanpa kalimat mubazir dalam alenianya. Tulisan yang ringkas tak ubahnya seperti lukisan yang tegas (tanpa garis yang tak perlu) atau mesin yang efektif (tanpa suku cadang yang tak berfungsi).

Tulisan yang jelas dimulai dari pembuatan kalimat yang sederhana, ringkas dan tepat makna. Kuncinya: baca laporan dan amati sesuatu sejelas-jelasnya kemudian ceritakan kembali secara sederhana. Dan pilihlah satu angle:

1. Dengan cermat memilih angle cerita sehingga penulis dengan mudah bisa mengelola bahan yang diperlukan untuk mengutarakan cerita itu.

2. Pegang teguhlah angle cerita itu dengan menghapuskan bagian yang tidak berhubungan langsung dengan angle-nya atau pun tidak membantu mencapai sasaran

-baca selanjutnya->

Menulis Feature

oleh Farid Gabanlanguage_arts

Mengapa feature?

Secara kasar karya jurnalistik bisa dibagi menjadi tiga:

· Stright/spot News – berisi materi penting yang harus segera dilaporkan kepada publik (sering pula disebut breaking news)

· News Feature – memanfaatkan materi penting pada spot news, umumnya dengan memberikan unsur human/manusiawi di balik peristiwa yang hangat terjadi atau de-ngan memberikan latarbelakang (konteks dan perspektif) melalui interpretasi.

· Feature – bertujuan untuk menghibur melalui penggunaan materi yang menarik ta-pi tidak selalu penting.

Dalam persaingan media yang kian ketat tak hanya antar media cetak melainkan juga an-tara media cetak dengan televisi, straight/spot news seringkali tak terlalu memuaskan.

Spot news cenderung hanya berumur sehari untuk kemudian dibuang, atau bahkan be-berapa jam di televisi. Spot news juga cenderung menekankan sekadar unsur elementer dalam berita, namun melupakan background.

Kita memerlukan berita yang lebih dari itu untuk bisa bersaing. Kita memerlukan news feature — perkawinan antara spot news dan feature. Karena tradisi ini relatif baru, kita perlu terlebih dulu memahami apa unsur-unsur dan as-pek mendasar dari feature.

Apakah feature?

Inilah batasan klasik mengenai feature: ”Cerita feature adalah artikel yang kreatif, kadang-kadang subyektif, yang terutama dimaksudkan untuk membuat senang dan memberi in-formasi kepada pembaca tentang suatu kejadian, keadaan atau aspek kehidupan.”

-baca selanjutnya->

Apa Saja Yang Bisa Dijadikan Tema Esai?

oleh Farid Gaban

Kebanyakan penulis pemula mengira hanya tema-tema sosial-politik yang bisa laku dijual di koran. Mereka juga keliru jika menganggap tema-tema seperti itu saja yang membuat penulis menjadi memiliki gengsi.

Semua hal, semua aspek kehidupan, bisa ditulis dalam bentuk esai yang populer dan diminati pembaca. “Beranda Kita”-nya Faisal Baraas menunjukkan bahwa tema kedokteran dan psikologi bisa disajikan untuk khalayak pembaca awam sekalipun.

Ada banyak penulis yang cenderung bersifat generalis, mereka menulis apa saja. Namun, segmentasi dalam media dan kehidupan masyarakat sekarang ini menuntut penulis-penulis spesialis.

* Politik lokal (bersama maraknya otonomi daerah)
* Bisnis (industri, manajemen dan pemasaran)
* Keuangan (perbankan, asuransi, pajak, bursa saham, personal finance)
* Teknologi Informasi (internet, komputer, e-commerce)
* Media dan Telekomunikasi
* Seni-Budaya (film, TV, musik, VCD, pentas)
* Kimia dan Fisika Terapan
* Elektronika
* Otomotif
* Perilaku dan gaya hidup
* Keluarga dan parenting
* Psikologi dan kesehatan
* Arsitektur, interior, gardening
* Pertanian dan lingkungan

Pilihlah tema apa saja yang menjadi minta Anda dan kuasai serta ikuti perkembangannya dengan baik. Fokus, tapi jangan gunakan kacamata kuda.

Permainan, Bagaimana Mengakhiri Tulisan

Oleh Putu Wijaya


Kondisi jiwa pembaca selalu tak diperhitungkan dalam tulisan-tulisan ilmiah, karena ditakutkan emosi akan ikut berbicara. Karena sasarannya adalah pembelajaran bukan permainan.

Karya fiksi, features, dan esai justru mengajak pembaca untuk bermain. Kondisi jiwa pembaca menjadi perhitungan dalam penulisan. Dengan menyampaikan pesan seperti mengajak pembaca bermain, kadang tertangkap kadang terlepas, kadang jelas-gamblang, kadang misterius penuh dengan pertanyaan-pertanyaan, proses penyampaian pesan menjadi peristiwa estafet. Tongkat bergulir dari tangan ke tangan sampai mencapai tangan yang terakhir untuk mengantarkannya ke garis finis. Pelari yang membawa tongkat itu pada etape terakhir adalah pelari yang paling jago.

Menulis pada akhirnya adalah persoalan bagaimana mengakhiri untuk menutup permainan. Sebuah tulisan yang cantik, lugas dan memukau pada akhirnya juga diadili sekali di akhir tulisan. Karena menutup tulisan, sebagaimana juga membukanya adalah peristiwa yang amat penting yang memerlukan kiat dan tenaga.

Ada akhir yang dipestakan dengan kibaran bendera kemenangan. Tetapi kemenangan penulis bisa berarti kekalahan pembaca. Dan kekalahan semacam itu tidak selamanya berarti pengakuan, penghormatan atau ketaklukan. Bisa juga berarti sebaliknya sebagai antipati. Seluruh pukau yang sudah tercipta bisa langsung mubazir bila pembaca akhirnya merasa seluruh tulisan adalah peristiwa kekalahannya.

Ada pembaca yang merasa nikmat dalam kekalahan. Ada penulis yang merasa menang kalau sudah menaklukan. Tetapi kekalahan dan kemenangan semacam itu tidak lama usianya. Kekalahan dan kemenangan yang abadi adalah kekalahan dan kemenangan yang tidak dipestakan. Bahkan disadari pun tidak. Kekalahan dan kemenangan yang abadi adalah kekalahan yang menang dan kemenangan yang kalah. Keduanya datang serentak menyatu dalam satu paket. Sesuatu yang nampaknya mustahil tetapi sudah kita lakukan setiap hari. Karena teori harmoni sudah mendarah-daging dalam kehidupan kita sebagai penghuni dunia di belahan Timur. Dia sudah merupakan jiwa dari tradisi kita. Roh tradisi penulisan kita yang tidak akan memerlukan banyak tenaga untuk mempraktikannya, karena itu sudah ada dan hidup dalam diri kita. Semua kita tinggal memupuk dan menjaga nyalanya agar terus berkobar dalam batas bermanfaat.

Tulisan yang Menggigit

Oleh Putu Wijaya

 

 

Bagaimana sebuah tulisan bisa menggigit, adalah persoalan penulisan. Bukan masalah materi. Karena sebuah materi yang besar pun bisa menjadi hambar, apabila tidak dirumuskan dengan baik dalam penulisan. Sebaliknya, masalah-masalah yang sederhana apabila mampu dirakit sedemikian rupa menjadi tajam dan memiliki tenaga tembus sehingga pembaca jadi terusik atau tergugah, ia dapat digolongkan sebagai tulisan yang bagus.

 

Membuat tulisan menjadi tajam, adalah dengan mempersempit sudut bidik, sehingga yang diincar jadi jelas. Dengan memusatkan pikiran kepada sudut bedah itu, masalah tersebut dengan sendirinya seperti diteropong dengan mikroskop. Urat-uratnya menjadikeluar. Kadang diperluan informasi dari penulis, karena pembaca sendiri dapat menyertakan seluruh informasi yang diketahuinya tentang sudut itu, yang membuat titik itu menjadi terang dan tajam.

 

Tetapi menajamkan tulisan juga dapat dilakukan dengan cara sebaliknya. Memperlebar sudut bidik, sehingga setting besar di mana titik/noktah yang diungkap itu berada, bisa tergambar seluruhnya. Dengan membentangkan secara jelas duduk perkaranya, titik itu menjadi tajam dengan sendirinya.

 

Menajamkan tulisan juga dapat dengan cara menghindar dari titik tersebut. Penghindaran yang disengajakan itu, akan menyebabkan titik itu justru memburu-buru bidikan. Dia akan mengejar pembaca dan memamerkan dirinya. Ketajaman sebagai akibat pemburaman ini memang sedikit spekulatif. Namun sangat efektif dipakai dalam menghindari cekalan-cekalan, apabila situasi penulisan tidak bebas karena berbagai kendala atau sensor.

 

Jadi penajaman bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dengan cara menumpulkannya.

Bersambung ke..Permainan, Bagaimana Mengakhiri Tulisan