jekardah

dari negeri tepian, jekardah akan tampak serupa negeri bayang-bayang, an. orang-orang terlupa dengan bayangannya sendiri.

welkam tu jekardah, katanya.
dan dari seberang jalan itu dia akan datang menjemputmu.
melambaikan tangan dengan senyum pahit masa lalu.
Gerimis turun perlahan siang itu.

kau berdiri terdiam beberapa saat dan beberapa saat lagi. menyadari betapa senyuman bisa kehilangan arti di saat-saat seperti ini. mendung batin menghampiri.

mungkin hanya di kota imajiner semacam ini orang-orang pernah merasa kehilangan bayangannya sendiri. tak ada yang peduli. waktu tak punya arti lagi.

dan kau membayangkan, di trotoar senja itu orang-orang akan berjalan dalam gerakan lambat. dengan langit senja yang disepuh warna sepia.

hidup tak berarti apa-apa, an.
tak pernah apa-apa.

sampai jumpa, sambutnya.

(April-Mei 2012)

Ada yang lebih dari

sekelam apa pun hidupmu,
ada yang lebih leluasa dari pagi.
malam namanya.

segetir apa pun nafasmu,
ada yang lebih tenggelam dari malam.
angan namanya.

sedalam apa pun anganmu,
ada yang lebih malam dari gelap.
terang namanya.

seberat apa pun matamu,
ada yang lebih luas dari langit.
kasur namanya.

seluas apa pun malammu,
ada yang lebih mewah dari waktu.
tidur selamanya.

tidurlah, an.

separah apa pun lukamu,
ada yang lebih ringan dari kapas.
pikiran namanya.

dan seringan apa pun langkahmu
ada yang lebih berat dari hari.
pikiran namanya.

di sana, sejauh pandangan mata,
ada yang lebih jernih dari mataair.
airmata namanya.

dan di sini, di dalam sini
ada yang lebih tenang dari danau.
sentuhan namanya.

(Maret-April 2012)

Terang-gelap

Rasanya tak pernah ada cukup waktu, an,
untuk mencerna dan meresapi semua yang terlewati setiap hari.
Seperti tak pernah ada hari ini..

Dan pada akhirnya
yang terang tak selamanya bunyi, an
yang gelap tak selamanya sunyi.

Malam bersahabat dengan diam.

(Feb 2012)

Sekuntum

Dan waktu pun seperti kembali lagi, an
seperti obrolan hari kemarin, hari ini, dan hari nanti
Darinya pun kau mendengar suara yang sama

Ini kegalauan yang sama tentang Indonesia.
Indonesianya, Indonesiamu,
mungkin Indonesiaku.

Ini cerita lama tentang mereka yang masih punya sekuntum harap
tapi tak bisa banyak berbuat.
memang cerita lama, an
bukan barang baru

dan mungkin yang diperlukan memang bukan berbuat banyak.
tapi sedikit saja, tak apa, tapi terus dan terus
tanpa henti
meski tak selamanya tanpa lelah
dan air mata

Indonesiamu masih di sini, an
sampai kau merasa paling bodoh sendiri

(Feb’12)

Dari Segala Penjuru

Kau tau, saat-saat seperti ini selalu datang menyerbu dari segala penjuru, menghambur tanpa permisi, tanpa pernah memberimu kesempatan untuk bersiap diri atau mengendapkan semuanya jadi intisari dalam bilik sanubari. Ini memang bukan kali pertama kau mengalaminya. Dan sepertinya takkan pula jadi kali yang terakhir.

Inilah saat-saat di mana banyak kejadian, peristiwa yang kau lihat, dengar, alami, dan rasakan, datang dan pergi silih berganti dalam rentang waktu yang singkat, pendek. Semua berjejalan berebut tempat di kepala dan hatimu, sampai ke sudut jiwa yang terdalam, menekan urat syaraf kesadaran. Dan kau hampir tak bisa berbuat apa-apa. Terdiam tanpa kata dengan banyak kata berterbangan di kepala. Sadar-tak sadar. Nyata-tak nyata. Adakah bedanya? Betapa tragisnya. Tak kurang seorang Charlie Chaplin pernah bersabda, “dalam close-up,” katanya, “hidup adalah tragedi. Tapi dalam long-shot, hidup adalah komedi.” Betapa ironi.

Dan ini lagi, “semua dapat tempat, semua layak dicatat,” kata Chairil. Tapi kau pun tau, tak semua kejadian di bawah kolong langit ini bisa dicatat dan dituliskan dengan kata. Tak semua peristiwa berjodoh dengan kata. Selalu ada hal-hal yang luput dari sergapan kata. Seperti kata-katamu selalu, “Kehidupan terlalu kaya untuk dilukiskan dengan kata-kata.” Terlebih lagi kematian dengan segala jenis dan bentuknya.

Kemarin, esok, hari ini..apa arti waktu sebenarnya..?

(Jakarta, 1 Juni 2010, 02:33 WIB)