Hening tak bisa ditulis

Siang itu, hening sunyi di bukit batu
Terdiam kata kau & aku
Sementara kota bunga terhampar di bawah sana
pada suatu hari yang mungkin

Daun-daun gemerisik dicumbu angin
Batu-batu membisu dalam hening
Tapi Langit tersenyum di atas sana
Ada yang tak terucap oleh kata

Hening tak bisa ditulis..

(Juli 2011)

Rekam Jejak Ingatan

Selepas maghrib menjelang malam waktu itu. Jalanan sudah gelap. Lampu-lampu rumah dan jalanan mulai bersinar berpendar. Di perjalanan angkot menuju travel untuk kembali ke “kota maklum” tiba-tiba hujan turun cukup deras. Dan dengan terdorong suasana hujan malam di perjalanan yang sepi dan terasa mellow karena berat meninggalkan rumah dan teringat padanya, pada kisah beberapa malam sebelumnya, kata-kata ini melintas di kepalamu dan terus mengiang,

“rintik hujan seperti berlari”

Dari kaca depan angkot itu kaupandangi hujan deras yang mengguyur, lampu jalanan dan lampu kendaraan yang melaju tampak mengabur disiram hujan. Dan selanjutnya bait kedua pun lahir,

“lampu jalanan basah
berpacu mengabur diri”

Dan setelah travel berangkat pun hujan deras makin menjadi. Kata-kata itu masih juga terus mengiang, ”rintik hujan seperti berlari..” Dari balik kaca, melihat ke arah jalanan di luar sana, kata-kata di sudut hati membisiki,

“hujan ini sederas sunyi
tak ada jalan kembali”

dan sebagai penutup adalah ingatan puisi masa lalu.

***

rintik hujan seperti berlari
lampu jalanan basah
berpacu mengabur diri

hujan ini sederas sunyi
tak ada jalan kembali

malam ini kau cantik sekali
seperti hening pagi

(Perjalanan Bandung-Jkt, Mei 2011)

Mengheningkan C.i.n.t.a

Ketika hati tercabik, bagaimana bunyinya?

Yang perih, yang getir
Yang berakhir getir, berawal luka

Yang kelam, yang terpendam
Yang galau, yang kacau
Gelap yang teriris paling gelap,
Yang tercabik-cabik
Dikoyak rapuh. Retak
Digilas remuk. Pecah berkeping

Semua ada di sini
Semua berkumpul di sini
Menggelegak di sini

Dan kata-kata lebur di sini
Di hening yang terdalam

Ketika hati tercabik, bagaimana bunyinya?

Mengheningkan C.i.n.t.a

Ketika hati tercabik, bagaimana bunyinya?

Yang perih, yang getir

Yang berakhir getir, berawal luka

Yang kelam, yang terpendam

Yang galau, yang kacau

Gelap yang teriris paling gelap,

Yang tercabik-cabik

Dikoyak rapuh. Retak

Digilas remuk Pecah berkeping

Semua ada di sini

Semua berkumpul di sini

Menggelegak di sini

Dan kata-kata lebur di sini

Di ruang yang terdalam

Ketika hati tercabik, bagaimana bunyinya?

(April’2010)

Bangku Taman

di suatu senja tak berangin
dua orang kawan lama bertemu tak sengaja
setelah sekian lama tak berjumpa
sebuah bangku taman jadi saksi perjumpaan
perbincangan pun digelar :
kisah klasik tentang garis nasib yang berlainan
satu preman,  satu lagi bajingan

oldbench1600wl0

perbincangan berlangsung lama tanpa jeda
tak terasa waktu mengalir ke ujung senja
matahari beranjak tenggelam segera berganti bulan
hari mulai malam
perbincangan memasuki “injury time”

sebagai muara percakapan,
pertanyaan pamungkas dilayangkan,
“Ngomong-ngomong, kau masih percaya Tuhan, Jon?
“Maaf, bukan maksudku bila menyinggung perasaanmu”,
seorang di antara mereka bertanya penasaran.
Nada suaranya sendu, bergelimang ragu.
si Jon yang ditanya diam saja. Tak ada jawaban keluar dari mulutnya.
angin mati. alam membisu.

setelah hening menunggu, bening suara pun lahir,
si Jon menjawab,
“Kau tahu apa yang paling menakutkan dalam hidup?”
pada kawannya dia justru balik bertanya
(rupanya kodrat pertanyaan memang melahirkan pertanyaan)

-baca selanjutnya