Terjemahan yang baik konon adalah terjemahan yang tidak terasa sebagai terjemahan. Alias benar-benar alih bahasa, bukan terjemahan mentah-mentah, harafiah, atau sekadar ganti bahasa.
Di tahun 2008 lalu setidaknya ada dua penerbit yang “berani-beraninya” menerbitkan novel terjemahan karya masterpiece Hemingway ini. Pertama, penerbit Selasar Surabaya Publishing yang cetakan pertamanya April 2008 dan kedua, Serambi Jakarta dengan Cet. I Mei 2008. Sementara penerbit Pustaka Jaya sebenarnya juga pernah menerbitkan terjemahan novel ini di tahun 1973.
Tapi kenapa disebut “berani-beraninya”? Karena menerjemahkan sebuah karya apalagi sebuah novel terjemahan dari penulis peraih Nobel bila tanpa dipersenjatai dengan penerjemah dan editor yang handal adalah sama artinya dengan menguji nyali atau bermain-main api yang ujung-ujungnya bisa mengakibatkan tragedi “setor nyawa” atau “jatuh harga” di hadapan sidang pembaca yang kritis.
Layaknya sebuah novel terjemahan, pertanyaan paling pertama dan utama yang layak diajukan adalah: seperti apa kualitas terjemahannya? Jawabannya, biarkan karya yang bicara. Karena kalau sudah bicara kualitas, jangankan pembaca berpengalaman yang kritis, pembaca awam yang masih “hijau” alias “bau kencur” pun rasanya tidak akan terlalu sulit membedakan mana “emas” mana “loyang.” Untuk hal yang satu ini soal selera mari kita singkirkan lebih dulu.
Nah, yang berikut ini ada sedikit contoh. Sebuah paragraf dalam bahasa asli novel ini:
He loved green turtles and hawks-bills with their elegance and speed and their great value and he had a friendly contempt for the huge, stupid logger-heads, yellow in their armour plating, strange in their lovemaking, and happily eating the Portuguese men-of-war with their eyes shut.
Terjemahan versi Selasar di hlm 31:
Dia menyukai penyu hijau dan paruh elang karena bentuknya yang elegan dan kecepatannya juga nilainya yang tinggi. Ia juga menyimpan suka-suka benci ketika melihat kepala tukang kayu bodohnya yang besar, warna kekuningan apa lapisan kulitnya, keanehan bercintanya dan dengan sukaria melahap ubur-ubur Portugis dengan matanya yang terpejam.
Terjemahan versi Serambi di hlm 40:
Dia suka penyu hijau dan jenis yang paruhnya seperti elang dengan keanggunan yang dimilikinya, dan harganya yang tinggi. Makhluk itu menjijikkan tapi lucu dengan bentuknya yang besar, kepala besar yang tampak bodoh, warna kuning tempurungnya, gaya kawinnya yang aneh, serta kegemarannya melahap ubur-ubur dengan mata terpejam.
Memang, sepintas terjemahan versi Serambi masih lebih bisa diterima ketimbang terjemahan Selasar yang acakadut.
Nah, kalau sudah membaca dua versi terjemahan di atas, rasanya bukan salah bunda mengandung kalau pembaca jadi malas melanjutkan bacaannya tapi malah membalik-balik halaman mencari-cari lagi kejanggalan-kejanggalan kalimat, salah ketik atau tanda baca, yang nampaknya masih bertebaran di novel terjemahan ini. Pekerjaan mencari kutu yang menyita waktu tapi menguji kecermatan, kejelian, dan kesabaran. Konon begitulah katanya:-)
(Pandasurya, 6 Agustus 2009)