Pagi

life of pi-2

Kabar dari seberang pulau itu bilang,
“Hujan di sini. Deras. Jalanan menuju pagi banjir tenggelam,” katamu,
tak sempat menyapa batu nisan

Di sini
hujan pagi juga datang
pelan-pelan
dari jendela kosan

serupa gumam dalam diam
seperti sunyi mengiris sepi
mampir di halaman

Langit masih mendung, en, gelap di luar

tak lama berselang,
hanya sependek ingatan,
hujan pergi dengan langkah pelan-pelan
seperti berat meninggalkan
tapi dia pergi
tanpa menengok ke belakang

seperti pilunya Pi tadi malam,
ketika Richard Parker meninggalkan

(Desember 2012)

Terang-gelap

Rasanya tak pernah ada cukup waktu, an,
untuk mencerna dan meresapi semua yang terlewati setiap hari.
Seperti tak pernah ada hari ini..

Dan pada akhirnya
yang terang tak selamanya bunyi, an
yang gelap tak selamanya sunyi.

Malam bersahabat dengan diam.

(Feb 2012)

Hening tak bisa ditulis

Siang itu, hening sunyi di bukit batu
Terdiam kata kau & aku
Sementara kota bunga terhampar di bawah sana
pada suatu hari yang mungkin

Daun-daun gemerisik dicumbu angin
Batu-batu membisu dalam hening
Tapi Langit tersenyum di atas sana
Ada yang tak terucap oleh kata

Hening tak bisa ditulis..

(Juli 2011)

Rekam Jejak Ingatan

Selepas maghrib menjelang malam waktu itu. Jalanan sudah gelap. Lampu-lampu rumah dan jalanan mulai bersinar berpendar. Di perjalanan angkot menuju travel untuk kembali ke “kota maklum” tiba-tiba hujan turun cukup deras. Dan dengan terdorong suasana hujan malam di perjalanan yang sepi dan terasa mellow karena berat meninggalkan rumah dan teringat padanya, pada kisah beberapa malam sebelumnya, kata-kata ini melintas di kepalamu dan terus mengiang,

“rintik hujan seperti berlari”

Dari kaca depan angkot itu kaupandangi hujan deras yang mengguyur, lampu jalanan dan lampu kendaraan yang melaju tampak mengabur disiram hujan. Dan selanjutnya bait kedua pun lahir,

“lampu jalanan basah
berpacu mengabur diri”

Dan setelah travel berangkat pun hujan deras makin menjadi. Kata-kata itu masih juga terus mengiang, ”rintik hujan seperti berlari..” Dari balik kaca, melihat ke arah jalanan di luar sana, kata-kata di sudut hati membisiki,

“hujan ini sederas sunyi
tak ada jalan kembali”

dan sebagai penutup adalah ingatan puisi masa lalu.

***

rintik hujan seperti berlari
lampu jalanan basah
berpacu mengabur diri

hujan ini sederas sunyi
tak ada jalan kembali

malam ini kau cantik sekali
seperti hening pagi

(Perjalanan Bandung-Jkt, Mei 2011)

Bangku Taman

di suatu senja tak berangin
dua orang kawan lama bertemu tak sengaja
setelah sekian lama tak berjumpa
sebuah bangku taman jadi saksi perjumpaan
perbincangan pun digelar :
kisah klasik tentang garis nasib yang berlainan
satu preman,  satu lagi bajingan

oldbench1600wl0

perbincangan berlangsung lama tanpa jeda
tak terasa waktu mengalir ke ujung senja
matahari beranjak tenggelam segera berganti bulan
hari mulai malam
perbincangan memasuki “injury time”

sebagai muara percakapan,
pertanyaan pamungkas dilayangkan,
“Ngomong-ngomong, kau masih percaya Tuhan, Jon?
“Maaf, bukan maksudku bila menyinggung perasaanmu”,
seorang di antara mereka bertanya penasaran.
Nada suaranya sendu, bergelimang ragu.
si Jon yang ditanya diam saja. Tak ada jawaban keluar dari mulutnya.
angin mati. alam membisu.

setelah hening menunggu, bening suara pun lahir,
si Jon menjawab,
“Kau tahu apa yang paling menakutkan dalam hidup?”
pada kawannya dia justru balik bertanya
(rupanya kodrat pertanyaan memang melahirkan pertanyaan)

-baca selanjutnya