Ini Jakarta yang kutahu, Tuan…
Pernah kulihat dari jendela dunia maya dan layar kaca, orang-orang miskin kelaparan nun jauh di benua Afrika sana. Tubuh mereka lebih mirip tengkorak hidup terbungkus kulit tipis pembalut tulang. Di sana memang tak ada makanan, Tuan, bencana kekeringan.
Tapi di sini, di Ibukota, Tuan, orang-orang miskin kelaparan, mengais, kurang gizi, bukan karena tidak ada makanan apalagi kekeringan. Tak jauh dari tempat mereka mengais berdiri kokoh gedung-gedung mal mewah nan mentereng, sejuk, gemerlap, penuh makanan melimpah. Pemandangan paling ironis dari yang ironis, Tuan…Negeri salah urus, judulnya.
Mungkin Tuan akan berkata, “Setiap keadaan menuntut pengorbanan. Di negeri lain yang lebih maju juga begitu. Tak ada negeri yang sempurna. Hidup selalu menuntut pengorbanan. “
Baiklah, Tuan, mungkin Tuan benar adanya. Dalam hidup selalu ada yang harus dikorbankan. Ada harga yang harus dibayar untuk setiap keadaan. Ya, meskipun harga itu terlalu mahal untuk seluruh peradaban.
Seorang teman yang rindu tanah air di negeri Perancis sana pernah bilang, “Dengan kemajuan dan kecanggihan teknologi yang dimiliki manusia saat ini, seharusnya kita, umat manusia, bisa memberi makan seluruh manusia di bumi ini. Kalau kau tak percaya, tontonlah film dokumenter “We Feed The World” dan “Our Daily Bread”,” katanya lagi.
Dan hingga kini masih terngiang juga kata-katanya di telingaku, “Jika kau melihat ada orang mati karena kelaparan, ingatlah, kawan, mereka mati bukan karena tak ada makanan…”
Konon, seperti itulah tugas seorang intelektual, Tuan: seorang yang menyaksikan penderitaan manusia, dan hatinya seperti kena iris, dan bertanya: kenapa?
Maka izinkan diri ini bertanya, Tuan, “Di tengah kota yang sarat ketimpangan dan kebusukan, apa arti bahagia sebenarnya?”
Dan rasanya GM pun benar, “Di dunia yang penuh sesak dan penuh orang lapar, seorang yang kekenyangan berarti merenggutkan nyawa orang lain…
(Sept’08-Maret’09)