Kali ini ingin kukatakan kepadamu,
sesungguhnya novel ini berkisah tentangmu, “kau”, “aku”, “kita”, “dia”, dan “mereka”.
***
Berkat yin bahasa lahir
Berkat yang bunyi lahir
Percampuran yin dan yang melahirkan insan
Ketika insan lahir, suara hilang
Ketika suara lahir, nyanyian lenyap
(h. 520)
Aku tidak mempercayai keajaiban-keajaiban sama seperti aku, pada mulanya, tidak mempercayai takdir. Namun, ketika kita ada dalam keadaan putus asa, tidakkah yang tersisa hanyalah keajaiban-keajaiban tempat kita berharap? (h. 118-119)
Dalam gelap gulita, setiap orang punya takdirnya masing-masing (h. 124)
Di dunia ini, tak ada cara untuk memahami apa yang seharusnya terjadi (h. 246)
Pengembara yang sebenarnya tak memiliki tujuan sama sekali (408)
Dia berkata bahwa dirimulah yang menyatakan bahwa cinta hanya sebuah ilusi yang berguna untuk menyesatkan diri sendiri (h. 441)
Manusia adalah salahsatu makhluk sulit yang menciptakan badai-badainya sendiri (h. 507)
Kebijaksanaan juga adalah semacam kemewahan, semacam ongkos dari sebuah kemewahan (508)
Kau tahu bahwa aku tak bisa melakukan apa-apa selain berbicara kepada diriku sendiri untuk mengusir kesepianku. Kau tahu bahwa kesepianku ini tanpa penawar, tak seorang pun dapat melipur laraku, aku hanya dapat berkata pada diriku sendiri sebagai kawan bicaraku.
Dalam monolog panjang ini, “kau” adalah sasaran ceritaku, sesosok aku yang mendengarkanku dengan penuh perhatian, “kau” hanyalah bayang-bayang diriku.
Saat aku mendengarkan “kau” yang menjadi milikku, aku menciptakan “dia” untukmu, karena kau seperti aku, kau tak kuasa menanggung kesepian, kau juga harus menemukan kawan bicara.
Maka kau bicara dengan “dia” seperti aku bicara dengan “kau”.
Dia berasal dari “kau”, tapi mengukuhkan keakuanku.
“Kau”, kawan berbincangku, kau membawa pengalaman dan imajinasiku dalam hubungan antara “kau” dan “dia” tanpa dapat membedakan mana imajinasi dan mana kenyataan..(h. 455-456)
Tak ada keajaiban, itulah yang dikatakan Tuhan kepadaku, ketidakpuasan yang abadi. Aku mengajukan pertanyaan kepadanya: Dalam hal ini, apakah masih ada sesuatu yang harus dicari?
Semuanya tenang di sekelilingku. Salju turun dalam kesunyian. Aku tercengang dalam ketenangan ini. Sebuah ketenangan surgawi.
Tak ada kegembiraan. Kegembiraan hanya berhubungan dengan kesedihan.
Hanya turun salju.
Pada saat ini, aku tak tahu di mana tubuhku berada, aku tak tahu dari mana potongan tanah surga ini berasal. Aku meneliti sekeliling.
Aku tak tahu bahwa aku tak mengerti apa-apa, aku juga mengira bahwa aku mengerti semuanya.
Peristiwa-peristiwa berlalu di belakangku. Selalu ada sebuah mata asing. Yang terbaik adalah berpura-pura mengerti. Pura-pura mengerti, tapi sama sekali tidak mengerti.
Pada kenyataannya, aku sama sekali tidak mengerti, sama sekali tidak.
Begitulah.
Peking—Paris, Musim Panas 1982—September 1989
(h. 713)