Senja itu
kita di sini, an
memandang langit yang pernah seperti ini
seperti kita yang tak pernah sederhana
(Agustus 2012)
Di ruang tunggu bandara seperti ini
selalu melintas tanya seolah seketika,
ke mana orang-orang akan datang dan pergi, an?
Mereka si orang asing berkulit putih, hitam, berwarna, lalulalang bersama bayang cahaya
apa arti asing dan berwarna sebenarnya?
apa arti tanah air, an, bagi mereka yang tak punya negeri asal?
Sementara gunung Lokon di depan sana
diliputi awan tipis, diam dalam dingin keanggunan misteri
Dan langit senja berpelangi ini, seolah mengundang diri untuk bertanya,
benarkah setiap orang selalu punya tempat untuk pulang?
(18 Juli 2012)
dari negeri tepian, jekardah akan tampak serupa negeri bayang-bayang, an. orang-orang terlupa dengan bayangannya sendiri.
welkam tu jekardah, katanya.
dan dari seberang jalan itu dia akan datang menjemputmu.
melambaikan tangan dengan senyum pahit masa lalu.
Gerimis turun perlahan siang itu.
kau berdiri terdiam beberapa saat dan beberapa saat lagi. menyadari betapa senyuman bisa kehilangan arti di saat-saat seperti ini. mendung batin menghampiri.
mungkin hanya di kota imajiner semacam ini orang-orang pernah merasa kehilangan bayangannya sendiri. tak ada yang peduli. waktu tak punya arti lagi.
dan kau membayangkan, di trotoar senja itu orang-orang akan berjalan dalam gerakan lambat. dengan langit senja yang disepuh warna sepia.
hidup tak berarti apa-apa, an.
tak pernah apa-apa.
sampai jumpa, sambutnya.
(April-Mei 2012)
di suatu senja tak berangin
dua orang kawan lama bertemu tak sengaja
setelah sekian lama tak berjumpa
sebuah bangku taman jadi saksi perjumpaan
perbincangan pun digelar :
kisah klasik tentang garis nasib yang berlainan
satu preman, satu lagi bajingan
perbincangan berlangsung lama tanpa jeda
tak terasa waktu mengalir ke ujung senja
matahari beranjak tenggelam segera berganti bulan
hari mulai malam
perbincangan memasuki “injury time”
sebagai muara percakapan,
pertanyaan pamungkas dilayangkan,
“Ngomong-ngomong, kau masih percaya Tuhan, Jon?
“Maaf, bukan maksudku bila menyinggung perasaanmu”,
seorang di antara mereka bertanya penasaran.
Nada suaranya sendu, bergelimang ragu.
si Jon yang ditanya diam saja. Tak ada jawaban keluar dari mulutnya.
angin mati. alam membisu.
setelah hening menunggu, bening suara pun lahir,
si Jon menjawab,
“Kau tahu apa yang paling menakutkan dalam hidup?”
pada kawannya dia justru balik bertanya
(rupanya kodrat pertanyaan memang melahirkan pertanyaan)