Pernyataan Sikap Goodreads Indonesia atas Pelarangan Buku

Pelarangan Buku & Penarikan Buku dari Peredaran Merugikan Pembaca dan Melanggar Hak Pembaca

Pada 23 Desember 2009, Kejaksaan Agung mengumumkan pelarangan lima judul buku yang dianggap ‘mengganggu ketertiban umum’, yakni pertama, Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Rosa. Kedua, Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Cocratez Sofyan Yoman. Ketiga, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Keempat, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan. Kelima, Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad. Selain itu, di kurun waktu yang sama juga terjadi penarikan buku Membongkar Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro dari peredaran. Pelarangan dan penarikan buku ini merupakan satu dari banyak kejadian serupa dengan yang selama ini sudah seringkali terjadi di Indonesia.
-baca selanjutnya->

Dhita, Dili, Silaban

Biarkan saya bercerita tentang 3 orang.

Orang Pertama: Namanya Endhita. Dia seorang model, artis film, sinetron, sekaligus presenter di TV. Di tengah dunia yang padat jadwal dan serba gemerlap dia mengaku sebenarnya sangat menyukai pantai dan keheningan. Seringkali ia ingin mencari tempat sunyi, jauh dari kesibukan dan hiruk pikuk kota besar seperti Jakarta. Karena itulah ia tak pernah bosan pergi ke pantai-pantai di Bali, Belitung sampai Lengkawi.

“Aku ingin hidup di pantai yang tenang, damai, hidup seperti nelayan yang sederhana,” katanya. “Hidup di kota pikiran bisa ruwet.” Di pantai ia bisa jadi dirinya sendiri, begitu katanya.

Orang Kedua: Sewaktu masih berjualan jagung bakar di Puncak, Bogor, Dili pernah punya niat mengambil anakan burung elang jawa yang ada di hutan sekitar kawasan perkebunan teh di Puncak, Bogor. Maksudnya sederhana: menambah modal untuk berjualan. Tapi kini bisa dibilang profesi Dili adalah sebagai pemandu wisata “nonton” elang Jawa di kawasan perkebunan teh Puncak, Bogor. Yang dipandunya tidak tanggung-tanggung: ribuan turis dan peneliti dari manca negara seperti Jepang, Perancis, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat, termasuk sejumlah aktivis pemantau burung. Hanya Dili satu-satunya penduduk sana yang aktif dalam konservasi burung langka itu. “Hutan di kawasan ini harus dijaga betul-betul supaya elang tetap bisa bertahan,” katanya.

-baca selanjutnya->