Tuhan (Dia Yang Diseru atawa Yang Dicari)

Tuhan sering diseru. Tidak jarang pula dicacimaki—meski dengan setengah hati. Dan anehnya Dia masih selalu dicari. Mungkin tidak aneh sebenarnya, karena hingga detik ini pencarian akan Tuhan tak pernah kenal kata usai. Bahkan selalu dimulai. Yang Satu ini memang tak pernah basi untuk terus dibahas. Dia adalah yang menjadi awal bagi setiap pertanyaan. Tak keliru jika ada yang mengatakan, segala sesuatu berawal dan berakhir pada satu titik: yaitu Tuhan.

Tuhan, nama yang jauh sekaligus dekat itu memang sebentuk misteri atau teka-teki dalam bentuk lain. Dia unik dalam segalanya. Dia diseru di rumah-rumah ibadah, disebut dalam rapat-rapat, dan diteriakkan lantang dalam demonstrasi dengan kemarahan (belum lama ini kan banyak demo soal pornografi, karikatur nabi, atau TDL yang mau naik lagi). Sebagian orang mungkin tergetar mendengarnya dan mengucurkan air mata. Sebagian lagi boleh jadi mencaci dalam hati.

Tapi di tiap masa, tiap abad, tiap generasi selalu ada manusia resah yang terus-menerus mencari-Nya. Kaum sufi boleh punya pernyataan, mungkin alasan kita untuk terus mencari-Nya karena kita memang mencintai-Nya. Tapi bagaimana mencintai sesuatu yang masih dicari? Dan karena itu pula Dia sekaligus menjadi awal dari setiap pertanyaan.

Dia adalah serba Maha dalam segalanya. Sedangkan kita sebagai makhluk adalah nisbi dalam segalanya. Mungkinkah yang nisbi bisa menjangkau Yang Maha Mutlak? Maka jawabnya persis pertanyaan retoris, “Apa yang bisa diperbuat sebutir debu dengan Tuhan dari segala tuhan ?” tanya pepatah Arab.

Dalam sebuah film berjudul Kandahar, seseorang pernah melakukan perjalanan melintasi benua untuk mencari Tuhan. Lelaki asal Inggris ini akhirnya sampai di Afganistan. Suatu ketika lelaki itu bertemu seseorang perempuan dalam pengembaraannya. Si perempuan itu bertanya,

“Apa yang membuatmu sampai ke Afganistan ini?”

Dan si lelaki mengatakan bahwa ia sedang menempuh perjalanan mencari Tuhan. “Apakah kau menemukan-Nya?”, tanya perempuan itu.

Lelaki itu menjawabnya dengan sebuah cerita. “Suatu ketika,” katanya, “ketika saya sudah sampai di Afganistan ini ada 2 suku yang sedang bertikai. Hingga perang tak bisa lagi dihindari. Suku A berseru lantang, ‘Tuhan bersama kita!.’ Dan suku B juga tak mau kalah, berteriak, ‘Tuhanlah bersama kami!’.” Mungkin setiap orang, setiap kelompok, memang punya tuhannya masing-masing.

Hingga pada suatu hari yang naas, ketika lelaki itu sedang berjalan ia menemukan 2 orang bocah yang sedang sekarat karena terluka dalam perang. Rupanya kedua bocah itu berasal dari 2 suku yang sedang bertikai. Bocah yang satu berasal dari suku A dan yang lain berasal dari suku B. Ia pun menolong keduanya. Pada saat itulah, kata lelaki itu mengenang, ia menemukan apa yang selama ini dicarinya. Ia menemukan Tuhan dalam kejadian yang mengenaskan itu. Saya menyadari, kata lelaki itu, bahwa jalan untuk menemukan Tuhan adalah dengan menolong sesama.

Sebenarnya tulisan ini bisa saja berhenti sampai di sini. Tapi rupanya takdir Tuhan menghendaki lain.

***

Para filsuf mengenalkan banyak cara untuk menemukan Tuhan. Diantaranya dengan menggunakan akal pikiran. Tapi ada juga yang lebih mengedepankan iman sebagai jalan untuk menemukan Tuhan. Dan setiap argumen tak pernah luput dari kelemahan.

Mereka yang menggunakan akal berargumen bahwa alam raya ini pastilah memiliki sebab akan keberadaannya. Dan yang menjadi sebab itu adalah Tuhan. Kenali dirimu maka kau akan menemukan Tuhanmu, begitu kata Socrates. Namun pada akhirnya para pengguna akal ini juga menyadari bahwa akal pikiran saja tidaklah memadai untuk dapat menemukan Tuhan. Itu artinya yang namanya sains pun tidak akan pernah sampai pada kepastian absolut (Tuhan) karena sains selalu bertumpu pada kebenaran sementara, di mana selalu ada kemungkinan data-data baru yang akan menggugurkan penemuan yang lama. Dengan kata lain, akal pikiran manusia selalu mempunyai keterbatasan karena manusia tak dapat mengetahui sesuatu di luar pengalaman sensorisnya.

Sedangkan mereka yang lebih mengandalkan iman sebagai jalan untuk menemukan Tuhan berargumen dengan apa yang mereka sebut “pengalaman spiritual” atau “pengalaman keagamaan.” Dan setiap orang bisa saja memiliki pengalaman keagamaan yang berbeda dengan orang lain tergantung lingkungan di mana ia hidup. Pada intinya, kaum ini sebenarnya lebih menitikberatkan pada “apakah kita beriman pada Tuhan?” ketimbang “apakah Tuhan itu ada?”. Dengan kata lain, kaum ini tidak lagi berkutat pada “keberadaan” tetapi lebih pada “keyakinan.” Bagi mereka iman berada di atas akal.

Kalau ada orang yang mengatakan, “saya percaya Tuhan itu ada karena saya bisa merasakannya, dan banyak orang lain juga merasakannya” hal ini tak bisa dikatakan sebagai kebenaran logis apalagi untuk membuktikan adanya Tuhan. Kebenaran tidak bisa diukur dari banyak sedikitnya jumlah orang. Sama juga halnya dengan orang yang bilang, “Tuhan itu ada karena kitab suci bilang begitu.” Argumen-argumen semacam ini memang tak bisa membangun kebenaran logis atau filosofis. Dan semua argumen yang serupa tidaklah membuktikan “keberadaan” Tuhan melainkan hanya mengungkapkan “keyakinan”, karena bagi mereka yang sudah beriman penjelasan rasional tidak lagi diperlukan untuk menjelaskan mengapa mereka memilih jalan itu. Konon, dan memang hanya konon, orang-orang dari jenis ini, misalnya, bisa “menemukan” (lebih yakin pada) Tuhan hanya dengan menatap dedaunan yang melambai ditiup angin, atau lewat tengah malam saat merenungi terangnya bulan dan indahnya bintang-bintang.

Dari dua kelompok di atas bisa dilihat bahwa akal dan iman tak selalu harus bertemu. Tak heran kalau umat Budha punya ungkapan indah, “Dia adalah apa yang tidak bisa diucapkan dalam kata-kata, tetapi sesuatu yang dengannya kata-kata diucapkan. Dia adalah apa yang tak bisa dipikirkan oleh akal, tetapi sesuatu yang dengannya akal beripikir.”

Apakah mereka yang mencari harus selalu bertujuan menemukan?

Mungkin kita harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa kita juga bisa terus mencari tanpa menuntut untuk menemukan…

Dan di akhir hayat pencarian kita, di rumah kita yang terakhir kelak, bolehlah kita berpesan supaya nisan kita nanti dihiasi tulisan dari seorang sufi besar (Al-Arabi): Dari cinta kita berasal dan atas nama cinta Dia menciptakan kita, karena tujuan cinta kita mendatangi-Nya dan demi cinta pula kita (kembali) menghadap-Nya…

Happy Valentine!

 

Pandasurya

(Februari 2006)



One thought on “Tuhan (Dia Yang Diseru atawa Yang Dicari)

Leave a comment