Pi

Penting dalam hidup ini untuk mengakhiri segala sesuatu dengan semestinya. Hanya dengan begitu kita bisa merelakan. Kalau tidak, hati kita terbebani oleh penyesalan, oleh kata-kata yang mestinya diucapkan tapi tak pernah tersampaikan (h. 402)

Cinta sulit dipercaya, tanyakan pada siapa pun yang sedang jatuh cinta. Kehidupan ini juga sulit dipercaya, tanyakan pada ilmuwan mana pun. Tuhan juga sulit dipercaya, tanyakan pada siapa pun yang mempercayainya. Kenapa Anda tidak bisa menerima hal-hal yang sulit dipercaya? (h. 417)

Dunia ini bukanlah seperti yang kelihatan. Tapi sesuai cara kita memahaminya, bukan begitu? Dan dalam memahami sesuatu, kita memasukkan sesuatu ke dalamnya, bukan begitu? Dengan demikian, hidup ini juga suatu cerita, bukan? (h. 423)

Kalau nyawa kita sendiri terancam, kemampuan kita berempati jadi tumpul oleh hasrat egois yang amat sangat untuk bertahan hidup (h. 178)

Aurel Yang Malang

Praktisnya memang bisa dibilang buku ini bukanlah karya Jostein Gaarder, tapi dia hanya menerjemahkan surat panjang yang ia temukan pada sebuah pameran buku di Buenos Aires, Argentina pada 1995. Surat yang konon dibuat pada abad ke-5 ini berisi tanggapan seorang perempuan bernama Floria kepada kekasihnya yaitu Aurel (Santo Agustinus, salah seorang Bapak Gereja yang berpengaruh hingga kini) atas buku Pengakuan (Confessiones) yang ditulis Santo Agustinus.

Surat panjang Floria ini menggeledah sejumlah aspek penting keimanan, filsafat, teologi, tuhan, sufi, cinta, indrawi, jasmani, rohani. Rangkaian kata-katanya memukau sampai akhir.  Bagi sebagian orang mungkin tema-tema itu termasuk berat, tapi buku ini memaparkannya dalam bentuk surat yang cukup mudah dicerna orang awam.

Dan inilah cuplikan surat Floria yang menggambarkan pemikirannya yang kritis-brilian-dahsyat itu:

Kau menjauhkan aku karena kau terlalu mencintaiku, katamu. Wajar, tentu saja, untuk bertahan di sisi pasangan yang dicintai. Tetapi kau melakukan kebalikannya, karena kau sudah mulai menganggap remeh perasaan cinta antara laki-laki dan perempuan. Kau berpikir bahwa aku membelenggumu kepada dunia panca indra, tanpa menyisakan kedamaian dan kesunyian yang dapat membuatmu berkonsentrasi pada keselamatan jiwamu…Tuhan menginginkan di atas segalanya, agar manusia hidup dengan menahan nafsu, tulismu. Aku tidak percaya pada Tuhan yang demikian (h. 16-17)

Bukankah benar-benar tidak setia menelantarkan seseorang yang dicintai demi keselamatan jiwa sendiri? Bukankah akan lebih mudah bagi seorang perempuan untuk menanggung kenyataan bahwa seorang laki-laki meninggalkannya karena ia ingin menikah—atau dalam hal ini, bila ia menginginkan perempuan lain? TetapI tidak ada perempuan lain dalam hidupmu. Kau hanya lebih mencintai jiwamu sendiri daripada diriku. Jiwamu sendiri, Aurel, itulah yang ingin kau selamatkan, jiwa yang pernah kau temukan di dalam diriku. (h. 18)

Aku harus menemukan apa yang dikatakan ajaran-ajaran filsafat tentang hal-hal yang memisahkan pasangan yang saling mencinta. Kalau kau telah tertarik pada perempuan lain, aku mungkin saja ingin bertemu dengannya. Tetapi sainganku bukanlah perempuan yang dapat kulihat dengan mata telanjang, ia adalah sebuah prinsip filsafat. Maka, agar aku dapat mengerti dirimu dengan lebih baik, paling tidak aku harus berada pada jalan yang sama dengan yang telah kau tempuh. Aku harus membaca ajaran-ajaran filsafat…Sainganku bukan hanya sainganku sendiri. Ia adalah saingan semua perempuan, ia adalah malaikat maut bagi cinta itu sendiri. Kau menyebutnya sebagai Pengendalian Diri. (h. 21-22)

Jika orang-orang bodoh ingin menghindar dari perbuatan yang salah, mereka biasanya malah melakukan hal yang sebaliknya (Horace, h. 23)

Ada satu hal khusus yang aku sukai dalam nasihat Cicero: ia memacuku untuk tidak mencari arah filosofis tertentu, melainkan untuk mencintai dan mencari serta memenangkan kebenaran itu sendiri…Dan kebenaran, Aurel, adalah hal yang telah mendorongku membaca tentang filsuf dan pujangga-pujangga terkenal. Sejak kita berpisah, aku telah mencurahkan seluruh hidupku untuk kebenaran—sama seperti kau dulu pergi untuk mencurahkan dirimu berkonsentrasi pada Pengendalian Diri. Aku masih mengasihimu, walapun harus kukatakan bahwa saat ini aku masih lebih mengasihi kebenaran (h. 23)

Kau merujuk pada kata-kata Paulus bahwa “baik bagi seorang laki-laki untuk tidak menyentuh seorang perempuan”. Dan Aurel sayang, mengapa kau hanya menuliskan ayat ini? Tidakkah kau belajar di sekolah retorika tentang bahayanya memisahkan sebuah kalimat dari konteksnya? (h. 39)

Aku ingat saat kita duduk di bawah sebuah pohon Ara. Sambil mengerdip pada matahari, aku memandangmu. Aku pasti melakukannya dengan cara yang begitu memikat, karena kau menahan tatapanku sambil memandang turun ke tanah dengan ragu sekali atau dua kali sebelum kau menatapku kembali. Rasanya nyaris seperti kita pernah hidup bersama. Aku langsung menyadari bahwa aku dapat mencintaimu dengan sepenuh hati dan jiwa. ..Kemudian kita berbicara tentang kehidupan dan cinta secara umum. Aku sepertinya ingat betapa kau sangat terkejut melihatku dengan begitu santai membela tindakan Dido yang memperjuangkan cinta. Seakan-akan kau bertanya padaku dengan tatapanmu, apakah seorang perempuan dapat benar-benar mencintai seorang laki-laki sehingga ia akan mengorbankan nyawanya sendiri bila ia dikhianati. (h. 45- 46)

Kau tidak menyembunyikan betapa dalam dan kuatnya kau membenci Venus. Dia, Aurel, adalah jembatan permata yang menghubungkan jiwa kita yang kesepian dan penuh ketakutan. Tetapi bukan itu saja. Kini kau juga membenci segala kesenangan seksual. Dan lebih lagi, kau tak henti menghina panca indra itu sendiri. Sungguh, kau telah berubah menjadi seorang kasim!

Saat ini kau memandang rendah segala indra serta semua buah dan minuman anggur yang mereka tawarkan pada jiwa kita. Tetapi bukan itu saja. Kau mulai membual kepada Tuhan tentang betapa kini kau sadar telahmemandang rendah seluruh ciptaan-Nya. Kau melakukan ini, katamu, karena kau melihat “cahaya” dengan mata hatimu.

Kulihat kau telahkehilangan arah hidupmu di tengah-tengah para teolog. Pekerjaan yang sangat menyedihkan! Bagaimana mungkin yang kecil memimpin yang besar? Bagaimana mungkin sebuah ciptaan mendefinisikan penciptanya? Juga, bagaimana mungkin sebuah ciptaan dapat menentukan bahwa dirinya akan berhenti berfungsi sebagai sebuah ciptaan?

Kita adalah manusia hasil ciptaan, Aurel. Dan kita diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan. Kita tidak boleh berusaha untuk hidup sebagai sesuatu kecuali sebagai diri kita sendiri. Bukankah dengan demikian kita mengejek Tuhan? Kita adalah manusia, Aurel. Pertama-tama kita harus hidup, kemudian—ya—kemudian kita bisa berfilsafat.

Apakah aku tidak lebih dari tubuh seorang perempuan bagimu? Kau tahu bahwa hal itu tidak benar. Dan bagaimana pula kau dapat membedakan tubuh dengan jiwa? Bukankah dengan demikian kau berusaha mengacaukan proses penciptaan yang telah dilakukan Tuhan? Oh ya, tentu saja, macanku yang tak beriman. Ketika kau mencengkeramku dengan belaianmu yang tajam, kau juga mencabik jiwaku. (h. 51-53)

Masihkah kau dapat mengingat bagaimana kau bercinta denganku dan seolah-olah mengeratkan tiap kuncup sebelum ia terbuka? Betapa kau menikmati diriku di dalam dirimu! Bagaimana kau membiarkan dirimu diracuni oleh wewangianku! Bagaimana kau menyantap sari-sariku! Dan kemudian kau pergi dan menjualku, demi keselamatan jiwamu. Betapa tidak setia, Aurel, kau seharusnya merasa bersalah! Tidak, aku tidak percaya pada Tuhan yang menuntut korban manusia. Aku tidak percaya pada Tuhan yang menyia-nyiakan hidup seorang perempuan demi menyelamatkan nyawa seorang laki-laki. (h. 59)

Hidup sangatlah singkat, dan kita tak pernah benar-benar yakin akan adanya keabadian bagi jiwa kita yang rapuh. Mungkin kehidupan inilah kehidupan kita satu-satunya. Kau tidak akan mau mempercayai itu, Aurel. Kau akan mengobrak-abrik otakmu hingga kau menemukan keabadian bagi jiwamu sepertinya lebih penting bagimu untuk menyelamatkan jiwamu dari hukuman abadi, ketimbang untuk menyelamatkan hubungan kita. (h. 68)

Bagaimana bila ternyata tidak ada surga di atas sana, Aurel? Bayangkan bahwa hanya untuk hidup inilah kita diciptakan! (h.80)
Hidup ini singkat, terlalu singkat. Namun mungkin hanya kini dan di sinilah kita hidup. ..Kita tidak hidup selamanya, Aurel. Tapi itu tidak berarti bahwa kita harus membuat hari-hari yang telah diberikan kepada kita menjadi hampa. (h. 102)

Hidup begitu singkat, kita tidak punya waktu untuk menghakimi dan mengutuk cinta. Pertama-tama kita harus hidup, Aurel, kemudian baru kita bisa berfilsafat. (h. 121)

Keluarlah, Aurel! Keluar dan berbaringlah di bawah pohon ara. Gunakanlah indra-indramu—gunakan untuk terakhir kalinya. Demi aku, Aurel, dan untuk segala yang pernah kita miliki bersama. Bernapaslah, dengarkanlah nyanyian-nyanyian burung, pandanglah kubah di langit dan hiruplah segala wewangian untukmu sendiri. Inilah dunia, Aurel, dan ia hadir di sini saat ini. Di sini, dan sekarang. Kau pernah terjebak ke dalam labirin para teolog dan para penganut Plato. Kini tidak lagi. Sekarang kau telah kembali ke dunia, ke tempat tinggal manusia. (h. 146)

***
Dan pada akhirnya memang kita tidak sekadar bicara tentang tanah, air dan udara, tapi kita juga berbincang tentang manusia, bumi manusia dengan segala persoalannya.

Kenapa selama ini orang praktis terlupa akan burung gereja, daun asam, harum tanah: benda-benda nyata yang, meskipun sepele, memberi getar pada hidup dengan tanpa cincong? Tidakkah itu juga sederet rahmat, sebuah bahan yang sah untuk percakapan, untuk pemikiran, untuk puisi—seperti kenyatan tentang cinta dan mati?
(Goenawan Mohamad, Caping 2, h. 72)

Tarian Bumi, Tarian Langit Matahari

“Kelak, kalau kau jatuh cinta pada seorang laki-laki, kau harus mengumpulkan beratus-ratus pertanyaan yang harus kausimpan. Jangan pernah ada orang lain tahu bahwa kau sedang menguji dirimu apakah kau memilki cinta yang sesungguhnya atau sebaliknya. Bila kau bisa menjawab beratus-ratus pertanyaan itu, kau mulai memasuki tahap berikutnya. Apa untungnya laki-laki itu untukmu? Kau harus berani menjawabnya. Kau harus yakin dengan kesimpulan-kesimpulan yang kaumunculkan sendiri. Setelah itu, endapkan! Biarkan jawaban-jawaban dari ratusan pertanyaanmu itu menguasai otakmu. Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil risiko.” (h. 21)

“Carilah perempuan yang mandiri dan mendatangkan uang. Itu kuncinya agar hidup laki-laki bisa makmur, bisa tenang. Perempuan tidak menuntut apa-apa. Mereka cuma perlu kasih sayang, cinta, dan perhatian. Kalau itu sudah bisa kita penuhi, mereka tak akan cerewet. Puji-puji saja mereka. Lebih sering bohong lebih baik. Mereka menyukainya. Itulah ketololan perempuan. Tapi ketika berhadapan dengan mereka, mainkanlah peran pengabdian, hamba mereka. Pada saat seperti itu perempuan akan menghargai kita. Melayani kita tanpa kita minta. Itu kata laki-laki di warung, Meme. Benarkah kata-kata itu? (h. 39-40)

“Dalam hidup ini, Sekar, tak ada yang gratis. Air, udara, semua energi yang membuatmu hidup harus kau bayar. Kau pernah bahagia? Kalau kau mendapatkan hadiah itu dari hidup, kau harus bersiap-siap, karena beberapa detik lagi penderitaan akan berdiri dengan angkuhnya di hadapanmu.” Suara batin yang sering memaksanya untuk sadar, bahwa hidup memang harus disiasati, sebelum manusia hanya sekadar jadi pecundang. (h. 101)

“Apa arti cinta, Luh. Aku hanya memerlukan hidup layak, hidup terhormat!”
“Kau juga memerlukan kasih sayang. Jangan samakan dirimu dengan benda-benda mati!” Suara Kenten penuh amarah.
“Hidup telah mengajari aku jadi batu.”
“Kau pernah bertanya pada batu? Betapa menyakitkan menjadi batu!”
“Siapa yang mengatakan itu padamu? Apa batu pernah mengeluh padamu?”
Luh Kenten diam.
“Aku tidak akan pernah bermimpi sepertimu.”
“Berarti kau benda mati. Manusia hidup memiliki keinginan, memiliki mimpi. Itulah yang menandakan manusia itu hidup. Batu juga memiliki keinginan. Dalam kediamannya dia mengandung seluruh rahasia kehidupan ini.”
“Hidupku bukan hidupmu. Aku tidak suka bermimpi.”
(h. 106-107)

“Tahukah kau, Luh, kau terlalu lugu untuk hadir dalam kehidupan ini.”

Fur Fathia by Hamid Basyaib

disalin dari sini

Fathia yang baik,

Pernah kamu bertanya, berapa persen cinta saya pada kamu?

“Tidak sampai seratus persen”.

Kamu mengeluh, dan beberapa hari kemudian mengajukan pertanyaan serupa. Jawaban saya tetap – bukan yang ingin kamu dengar. Di kesempatan lain kamu mengulangi “tekanan politik” dengan mengajukan pertanyaan sama.

Saya tahu kamu lebih suka saya berbohong – dengan mendayu-dayu, dengan mengutip lagu pop atau ungkapan klise remaja di sinetron yang sedang merayu gadis pujaannya, meski tak sampai berlutut atau menyembul dari balik pohon sawo seperti jagoan Bollywood. Karena kali itu saya tak ingin berdusta, maka saya tetap menjawab “tidak seratus persen”. Saya hanya bisa menambahkan bahwa cinta saya – sepanjang yang mampu saya rasakan saat itu – pasti besar, cukup besar untuk membangun sebuah landasan kebersamaan hidup kita. Dan saya pun tidak mengharap kamu mencintai saya seratus persen.

Sampai akhirnya kamu mengerti, dan tiba pada kesimpulan gemilang: “Saya setuju. Saya tahu, kalau cinta kamu seratus persen, kamu tak punya ruang lagi untuk berpikir.”

Dan tanpa ruang sisa itu, cinta akan rutin, dan karenanya membosankan, setidaknya tak mungkin lagi mekar – tak mungkin tumbuh ke berbagai arah yang barangkali tak terduga, tapi lebih kaya. Dan setiap hal yang setinggi seratus persen hanya punya satu arah perubahan: menurun, berkurang, mengalami erosi. Mungkin akhirnya mati.

Cinta memang tak pernah bunuh-diri. Ia biasanya mati karena dibunuh oleh satu atau kedua pelaku yang terlibat dalam percintaan itu.

Kamu seolah memetik buah dari pohon kearifan yang sama dengan yang mengilhami Kahlil Gibran, yang menyarankan supaya dalam kebersamaan tetap harus ada ruang bagi kedua pihak. Kamu menginsafi, perkawinan bukanlah penunggalan dua pribadi, tapi kesepakatan antara dua orang yang punya sejarah personal masing-masing untuk memandang ke satu arah yang sama. Keduanya tak perlu, tak boleh, melebur menyatu.

Sebab harga termurah dari peleburan itu adalah hilangnya diri kita, berubah menjadi bukan siapa-siapa, menjadi bukan apa-apa. Biarlah sudut terpencil di bilik jantungmu turut saya rawat untuk kamu, sambil saya percaya bahwa di sana ada saya. Tolong pelihara juga sudut eksklusif saya.

Dan kemudian kamu setuju menikah.

Sudah tentu saya berterima kasih atas kesediaan yang lekas ini. Seperti kamu, saya pun tak pernah tahu ada statistik tentang tingkat kelanggengan suatu perkawinan berdasarkan lama masa pacaran. Apakah panjang masa pacaran mampu menjamin keawetan sebuah perkawinan? Apakah masa yang singkat berpeluang besar untuk kegagalannya? Saya belum pernah baca data yang meyakinkan.

Yang saya tahu: ada pasangan yang perkawinannya langgeng sampai akhir hayat, setelah melalui masa pacaran yang singkat (atau tak pernah melewatinya sama sekali karena dijodohkan orangtua); ada pasangan yang usia perkawinannya jauh lebih singkat daripada masa pacarannya, sampai para tamu resepsi pernikahan mereka mengeluh: belum habis letih dari menghadiri pestanya, perkawinannya sudah hancur.

Apakah peristiwa-peristiwa seperti itu bagian dari rahasia alam, satu dari misteri kehidupan yang tak terhingga banyaknya? Saya tak tahu. Bahkan, seperti berulang kali saya katakan, saya tak pernah tahu alasan lengkap mengapa saya mencintai kamu.

-baca selanjutnya->

Mengheningkan C.i.n.t.a

Ketika hati tercabik, bagaimana bunyinya?

Yang perih, yang getir
Yang berakhir getir, berawal luka

Yang kelam, yang terpendam
Yang galau, yang kacau
Gelap yang teriris paling gelap,
Yang tercabik-cabik
Dikoyak rapuh. Retak
Digilas remuk. Pecah berkeping

Semua ada di sini
Semua berkumpul di sini
Menggelegak di sini

Dan kata-kata lebur di sini
Di hening yang terdalam

Ketika hati tercabik, bagaimana bunyinya?

Mengheningkan C.i.n.t.a

Ketika hati tercabik, bagaimana bunyinya?

Yang perih, yang getir

Yang berakhir getir, berawal luka

Yang kelam, yang terpendam

Yang galau, yang kacau

Gelap yang teriris paling gelap,

Yang tercabik-cabik

Dikoyak rapuh. Retak

Digilas remuk Pecah berkeping

Semua ada di sini

Semua berkumpul di sini

Menggelegak di sini

Dan kata-kata lebur di sini

Di ruang yang terdalam

Ketika hati tercabik, bagaimana bunyinya?

(April’2010)

Jemuran Februari

Biru langit pagi ini
pagi Februari
mungkin hujan sore nanti
don’t you see?

orang-orang bergegas dalam bayang
teringat gambar Satrapi
tapi pagi ini bukan pagi revolusi
cuma antrian panjang periuk nasi dan lupa diri

sambil menunggu mati

mengapa pilih jalan yang sulit
seolah tak ada ruang ‘tuk berkelit?
dan buat apa juga pelit
maut mengintai setiap detik

Seperti katamu malam itu,
“Yang membedakan bukan bagaimana kita lahir dan menjalani
tapi seperti apa kita ‘kan mati”

Sebab cinta yang baik, tak cuma untuk hari ini
tapi juga buat nanti

semoga jemuranku kering hari ini

(Nov ’09-Feb’10)

Surat Neptunus Buat Dewi ‘Dee’ Lestari

perahu kertas

(Resensi novel “Perahu Kertas” Dee)

Hai Dee yang baik,

Perkenalkan, saya salah seorang pembaca Perahu Kertas (PK). Kita memang belum pernah kenal sebelumnya. Tapi pastinya saya sudah tau seorang Dewi “Dee’ Lestari karena kamu penulis dan penyanyi terkenal di negeri ini.

Kalau boleh, Dee, izinkan saya menulis surat ini. Anggaplah ini sekadar kesan-kesan saya setelah membaca PK. Tapi mungkin saya nggak akan menghanyutkannya surat ini di sungai, kali, apalagi lautan.

Baiklah, saya mulai ya.
Pastinya kita semua tau, Dee, manusia tak pernah lahir dari batu atau jatuh dari langit. Manusia adalah produk lingkungannya. Ia terbentuk dari pengalaman-pengalaman hidup tempat di mana ia lahir, tumbuh, dan mati. Termasuk di dalamnya pengalaman membaca seseorang.

Pernah suatu kali di malam yang sepi, sambil memegang sebuah buku, saya merenungkan sebuah pertanyaan iseng: bisakah kita membaca sebuah buku tanpa membawa serta pengalaman membaca kita sebelumnya? Atau lebih jauh lagi, bisakah kita membaca sebuah buku tanpa mengikutsertakan pengalaman hidup kita selama ini yang terkait dengan buku, musik, atau film misalnya? Dalam bahasa sederhana: bisakah kita mengosongkan dahulu semua panca indera kita, segala pikiran dan hati kita ketika akan membaca sebuah buku?

-baca selanjutnya->

Kenapa Membaca Sastra?

open bookDi suatu masa, entah kapan dan di mana
Seseorang mungkin akan bertanya kepadamu,
“Kenapa dirimu membaca sastra?”

Dan inilah jawabmu:
“Karena sastra, yang pertama dan utama, memberi pelajaran tentang hidup
Pelajaran yang tak didapat di ruang-ruang kelas mana pun

Karena sastra adalah seni
Seni bercerita, seni kata, gaya bahasa, pilihan kata,
cara pengungkapan penuh makna

Karena sastra bisa mengetuk pintu hati untuk sampai pada kesadaran
Kesadaran tentang hidup dan kehidupan, tentang kenyataan
tentang ketulusan
tentang diri dan orang lain
tentang kemanusiaan dan dunia
tentang alam semesta, Tuhan dan cinta
dari bilik sunyi hingga ke kedalaman samudra
dari gelapnya rimba belantara hingga ke batas cakrawala

Karena sastra juga berarti menata hati dan pikiran,
segenap panca indra, jiwa dan raga
Karena sastra memberi hati pada duka luka
pada kepedihan, penderitaan dan kebahagiaan
Karena sastra menerbitkan tangis dalam tawa

Selalu ada masanya sastra bisa memberi rasa
bagi mereka yang mati rasa
atau sekadar mencoba berdamai dengan rasa hampa
karena sastra memberi cahaya

Karena sastra menyentuh relung jiwa, menginspirasi sanubari

Dan karena sastra memberi getar pada hidup..”

(Jakarta, Mei-Agustus’09)

Cinta Dalam Sepotong Roti*

heart-in-hand2jpgDan di hari-hari ini seseorang akan bercerita tentang nurani yang terluka oleh zaman. Atau ini hanya sekadar cerita tentang barang yang paling mahal sedunia.

Entah bagaimana asal-usulnya, di hari yang ganjil itu, di bulan Februari tanggal 14 itu,  orang-orang paling kaya sedunia berkumpul di pasar termahal yang pernah ada. Seorang bocah laki-laki berpakaian kumal duduk bersimpuh di suatu sudut. Seorang super kaya berjalan pelan menghampirinya.

“Barang apa yang kau jual, nak?”

“Yang saya jual tak seorang pun akan sanggup membelinya”

“Oh ya? Benarkah? Barang apa yang kau jual, nak?

“Tuan takkan sanggup membelinya”

“Semahal itukah barangmu, nak? Bagaimana kalau saya bayar dengan gunung?”

“Ini bahkan lebih mahal dari segunung uang, Tuan”

“Bagaimana kalau saya bayar dengan laut ?”

“Ini bahkan lebih mahal dari lautan permata”

“Ehm, bagaimana kalau saya bayar dengan pulau?”

“Tidak, Tuan, barang ini bahkan lebih mahal dari pulau intan berlian”

“Baiklah. Ini tawaran terakhir, nak. Bagaimana kalau saya bayar dengan semua yang saya tawarkan tadi plus semua yang saya miliki?”

“Sudahlah Tuan, barang ini bahkan lebih mahal dari semua yang Tuan tawarkan.”

“Sebenarnya apa yang kau jual, nak?

-baca selanjutnya

Slow Yourself Down..

Seorang perempuan, muda, cantik, Emmy Rossum namanya. Dia tinggal di New York. Dan dia bercerita tentang kota tempat tinggalnya. “Saya lahir dan dibesarkan di New York. Di kota ini kehidupan bergerak sangat cepat,” katanya suatu kali. Dari ceritanya itu, gadis 22 tahun yang juga aktris dan penyanyi ini pun menulis sebuah lagu. “Saya menulisnya di New York dan lagu ini berjudul “Slow Me Down”,” katanya.

“Saya membayangkan dunia bergerak sangat cepat dan kita sulit menahan diri untuk tidak ikut bergerak cepat,“ tuturnya tentang lagu itu. “Jika kita terus bergerak cepat dan tidak memperlambat diri maka kita akan kehilangan banyak hal yang indah di dunia ini.”

Download mp3 “Slow Me Down”

Lihat video klip “Slow Me Down”

Lirik lagu “Slow Me Down”

-baca selanjutnya->