Jakarta: Kata Saya

Jakarta. Saya tak pernah suka kota ini.

Betapa pun kota ini punya sejarah yang panjang, saya tak pernah merasa punya ikatan emosi dengan kota ini. Saya tak pernah punya nenek moyang atau silsilah keluarga yang pernah tinggal di kota ini. Bagi saya, Jakarta adalah sebuah kota yang sudah selesai, sekaligus tak pernah selesai. Jakarta sudah selesai dari segala apa adanya, bagi orang yang menganggapnya begitu. Dan Jakarta juga tak pernah selesai dari segala apa adanya, bagi orang yang menganggapnya begitu. Saya selalu mengganggap Jakarta sebagai kota apa adanya, seadanya, tapi juga bisa segalanya. Bagi mereka yang menganggapnya begitu.

Kalau ada yang bertanya apa arti Jakarta buat saya, maka saya akan menjawab, Jakarta bukan apa-apa bagi saya. Jakarta tak pernah singgah atau menyentuh hati saya. Sekarang ini Jakarta hanyalah sebuah kota tempat saya mengisi waktu, membuang waktu, beraktivitas, berletih, mencari makan, buang hajat. Tak pernah lebih dari itu.

Sudah 3 tahun saya di sini. Saya tak pernah merasa sedikitpun “tinggal” atau “berumah” di kota ini. Jakarta bukan “rumah” bagi saya. Saya tak pernah merasakan “pulang” di kota ini. Saya tak pernah merasa jadi “warga” kota ini. Saya tak punya KTP Jakarta.

Dan sekarang #savejakarta, katanya, kata mereka. Diselamatkan dari apa? Untuk apa menyelamatkan sesuatu yang tak butuh diselamatkan? Apakah Jakarta sudah seperti Gotham yang sudah sedemikian hancur parah bobrok karena kebusukan korupsi, suap, dan bergelimang kejahatan hingga seorang Batman perlu turun tangan? Mungkin. Tapi barangkali Jakarta belum seperti Gotham. Entah dalam waktu dekat.

Ya, saya pernah membayangkan Jakarta akan seperti Gotham: kejahatan, korupsi, suap, preman, dan segala kebusukan merajalela di seantero kota sampai ke sudut-sudut pelosok paling sunyi: batin warganya. Tapi nyatanya kota seluas 66 ribu hektar lebih ini selalu lolos dari lubang jarum kehancuran. Betapa pun banjir menerjang, betapa pun lautan kemacetan melingkupi, betapa pun kerusuhan melanda, kota ini tak pernah lumat, kota ini tak pernah hancur bubur. Jakarta masih tegak berdiri, angkuh tak peduli, meski bergelimang caci-maki dan korupsi. Jakarta tak butuh seorang Batman. Jakarta tak butuh superhero. Kota ini dikutuk untuk selamat.

***

Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu, pasti tak pernah membayangkan Batavia yang dibangunnya akan menjadi seperti sekarang. Entah akan seperti apa umpatannya jika ia berkesempatan bangkit sejenak dari kubur dan melihat keadaan kota yang dibangunnya sekarang.

Seorang teman pernah bilang, untuk membenahi Jakarta, kota ini harus dihancurkan lebih dulu, dibom total, diratakan dengan tanah, baru dibangun lagi dari awal. Saya tak masalah dan cukup paham dengan kemuakannya. Jakarta memang belum pernah mengalami Hiroshima atau Nagasaki. Dalam catatan sejarah pun kota ini memang pada awalnya dibangun dari puing-puing kehancuran setelah Belanda yang dipimpin JP Coen berhasil mengalahkan Inggris pada 1619. Jadi mengapa tak mengulang sejarah? Bukankah “sejarah berulang,” kata Marx, “pertama sebagai tragedi, kemudian sebagai banyolan.”

Tapi sebelum tragedi dimulai dan banyolan dimuntahkan selalu ada kondisi pembalik untuk segalanya. Ada aksi ada reaksi. Ada tesis, ada antithesis, kemudian sintesis dan seterusnya. Kalau kau risau karena aturan 3 in 1, masih ada joki bertebaran. Kalau kau lelah, stres dengan kemacetan dan segala kesumpekan, masih ada spa, healthcare, pijat refleksi, fitness centre, night club, mall dan sebangsanya, termasuk sederet wisata kuliner, wisata museum, kota tua atau tempat hiburan lainnya, apa pun itu. Pendeknya, Jakarta selalu menciptakan ruang dan kesempatan untuk memulihkan dirinya sendiri. Semacam mekanisme pertahanan diri. Kota ini diberkati.

Atau yang kita lakukan selama ini sebenarnya bisa juga disebut pelarian. Tergantung bagaimana kita memaknainya. Meski tak semua orang sudi mengakui, pada dasarnya semua orang sedang menjalani pelarian dari apa yang mereka hindari. Apa pun bentuknya, di kota ini semua hanya pelarian. Work hard, play hard, mereka berdalih, seolah semua harus ada tebusan dan imbalannya. Tapi semua itu hanya semu.

***

Saya bisa mengatakan Jakarta adalah kota paling manusiawi sekaligus tak manusiawi yang pernah ada. Di sini, setiap saat, di mana pun dan kapan pun memungkinkan, orang dipaksa mengeluarkan segala potensi malaikat sekaligus iblisnya untuk bertahan hidup. Hampir tak sejengkal tanah pun di Jakarta lolos dari perilaku menyelamatkan periuk nasi masing-masing, menyelamatkan cadangan nafas masing-masing. Bajingan atau malaikat, kota ini menampung segalanya.

Seperti juga jutaan warga kota ini, pernah memang saya berada di satu titik ketika saya sudah muak, kesal, letih dengan Jakarta. Dan saya juga yakin saya bukan orang pertama dan terakhir yang mengalaminya. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, Jakarta sebenarnya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi. Kenapa? Karena bagi saya, bahkan Jakarta sudah membuat kita berpikir bahwa kitalah yang bermasalah dengan kota ini. Untuk gampangnya sebut saja semacam “penjara pikiran”. Jakarta sudah membuat kita berpikir bahwa kota ini bermasalah, tapi yang sebenarnya terjadi adalah kita yang bermasalah dengan Jakarta. Seperti yang saya bilang tadi, kota ini selalu apa adanya, seadanya, dan bisa juga segalanya. Tergantung bagaimana kita menganggapnya. Jakarta sudah membuat kita berpikir bahwa dirinya tak perlu dipikirkan. Jakarta hanya perlu dijalani, barangkali, meski dengan setengah hati.

Maka lain kali kalau ada yang bertanya tentang Jakarta, kita bisa menjawab, “Jakarta? Gak usah dipikirin.” Tapi Jakarta juga mungkin bisa berkata, seperti sebuah lirik yang lebay alay dari sebuah lagu sendu, “Jangan pernah letih mencintaiku.” Preeettt..

***

Hampir mustahil memang bicara suatu kota tanpa bicara jalanannya. Tapi bicara jalanan Jakarta, tak usah lagi ditanya. Jalanan Jakarta punya 1001 jawaban untuk seribu pertanyaan. Dan selalu ada 1001 macam cerita tentang jalanan Jakarta. Tapi juga bisa tanpa cerita samasekali karena yang terjadi di jalanan sudah sedemikian rutin dan maklum. Cerita kemacetan dan pelanggaran di jalanan hanyalah sekian dari lagu lama yang pernah ada dan selalu ada. Tak ada habisnya.

Ya, saya percaya kemacetan Jakarta mampu mengubah sifat, karakter, dan kejiwaan seseorang. Rasanya Jakarta tak perlu waktu lama untuk melakukannya. Saya mengandaikan ada semacam penelitian psikologi tentang seberapa cepat jalanan macet Jakarta mampu mengubah sifat, karakter, dan kejiwaan seseorang. Kita andaikan ada seorang lugu yang berasal dari desa yang tenang, tenteram, bersih dan sejuk dibawa ke Jakarta. Lalu terjunkan si lugu dalam kemacetan setiap hari. Dengan berbagai macam parameter, faktor dan variabel pengukur, akan seperti apa hasilnya dalam seminggu, sebulan, 3 bulan, 6 bulan, setahun?

Foke, gubernur yang paling diingat kumisnya itu, boleh berdalih dan berjoget dengan mendendangkan lagu lama dari Koes Plus: “Siapa suruh datang Jakarta..”

***

Pada satu titik akhirnya saya mengambil kesimpulan sendiri tanpa persetujuan siapa pun. Bagi saya cukup ada 3 kesimpulan bagi Jakarta. Pertama, Jakarta bukanlah kota yang sehat bagi jiwa dan raga, baik bagi orang dewasa, terlebih lagi bagi anak-anak dan kaum lanjut usia. Tingkat polusi, ketersediaan air bersih, kemacetan, jurang sosial, tingkat persaingan, tekanan hidup, dan sebagainya, semua itu sudah terlampau parah melewati ambang batas yang bisa diterima kehidupan normal, tak bisa lagi diterima oleh akal sehat manusia. Jakarta sudah melampaui apa yang bisa dilukiskan kata-kata.

Kedua, hanya mereka yang mati rasa yang bisa tinggal di Jakarta. Ya, mau tidak mau, ini adalah konsekuensi logis dari kesimpulan pertama. Dengan kata lain, betapa pun nurani menentangnya, tapi tubuh terpaksa tunduk oleh keadaan dan kenyataan di depan mata. Dan ketiga, inti masalah dari semuanya adalah karena hampir tak ada lagi orang yang mau memikirkannya. Hampir tak ada lagi yang sudi meluangkan waktu memikirkan kota ini. Orang sudah cukup kerepotan memikirkan masalahnya sendiri, apalagi harus memikirkan Jakarta yang superduper ruwet ini. Jakarta sudah membuat kita berpikir bahwa dirinya tak perlu lagi dipikirkan. Berpikir saja kita sudah malas atau repot, apalagi bertindak. Sementara kita tau hukum alam manusia, tak ada tindakan tanpa diawali pikiran.

Kalau kau masih sudi silakan pikirkan ini: mereka bilang, semua orang pintar yang terbaik ada di Jakarta. Semua infrastruktur terbaik dan terlengkap ada di Jakarta. Ada 283 perguruan tinggi negeri dan swasta di kota ini. Ada sekian ribu manusia pintar dengan sederet gelar akademis, termasuk yang lulusan luar negeri, di kota ini. Tapi pertanyaan yang satu itu masih terus mengusik, mengapa Jakarta masih seperti ini dan makin parah? Jawabannya mudah: bagi saya, tak ada yang pintar selama Jakarta masih seperti ini. Nyatanya yang pintar dan terbaik itu menghasilkan daya rusak yang juga terbaik.

Ataukah akhirnya kemudian akan tiba saatnya seperti cerita yang sudah-sudah: kita sampai perlu menyewa tenaga asing dari luar khusus untuk memikirkan Jakarta? Why nut? Kenapa kacang?

***

Pernah saya membaca di sebuah buku, sebuah kalimat bernada sayu, “Jakarta bukanlah kota yang gagal, hanya belum diberi kesempatan untuk berhasil.” Maaf saja, bagi saya kalimat itu lebih terkesan hanya akrobat kata-kata. Jakarta sudah tak memadai untuk dinilai gagal atau berhasil. Jakarta sudah di luar jangkauan ukuran itu.

Pada akhirnya saya memang tak pernah bisa mengerti kota ini. Dan sepertinya Jakarta juga sejak dulu sudah cukup mengerti bahwa dirinya memang tak butuh dan tak perlu dimengerti. Jakarta selalu apa adanya.

Ketika kita tak bisa mengubah keadaan, bukan berarti kita bisa berdamai dengan kenyataan. Dan pada saat itulah mungkin Jakarta butuh seorang Batman. Tapi seandainya superhero macam Batman pun sudah tak mampu mengatasi Jakarta maka saya tak tau makhluk jenis apa lagi yang mampu.

Di luar sana seorang Joker mungkin sudah menunggu..

(Pandasurya, Januari 2011)

10 thoughts on “Jakarta: Kata Saya

  1. Di sini, setiap saat, di mana pun dan kapan pun memungkinkan, orang dipaksa mengeluarkan segala potensi malaikat sekaligus iblisnya untuk bertahan hidup — bener bgt aq menemukan iblis di jkt yg membuat hdp aq bener2 terpuruk dan hanya kepada Allah aq meminta keadilan

    Kita andaikan ada seorang lugu yang berasal dari desa yang tenang, tenteram, bersih dan sejuk dibawa ke Jakarta. Lalu terjunkan si lugu dalam kemacetan setiap hari. Dengan berbagai macam parameter, faktor dan variabel pengukur, akan seperti apa hasilnya dalam seminggu, sebulan, 3 bulan, 6 bulan, setahun? (ga perlu bukti udah ada kok hasilnya.. xixixi)

    meskipun demikian.. ya saya tetap berterima kasih kepada kota Jakarta krn telah memberikan berbagai macam ketrampilan, pendidikan, cara bertahan hidup di tengah tekanan yg tidak pernah terpikirkan dan terbayangkan sebelumnya. saya bisa bekerja dan membantu perekonomian keluarga. bisa melihat modernisasi (maksa bgt yach)
    bertemu dengan orang yg jahat sehingga aq bisa menilai bahwa diri kita memang orangbaik.. (kwkkwkwk) punya temen dan sahabat yang baik.. ex. panda (kwkwkkw.. makan2 ye..)

    hmm apa lg yach.. terlalu banyak hal yang bisa di ungkapkan untuk Jakarta dan pastinya pegel juga euy kalo ditulis disni semua.. ada kebahagiaan, kesedihan, dll…

    udah ah sekian dan terima kasih ^_^

  2. seperti yang gua bilang, Pan
    g serasa baca prolog “SIN CITY” – Frank Miller
    (tapi minus cewek seksi lhooo)

    btw emang segitu rusaknya ya Jakarta? 😀
    baru tau ada program #savejakarta
    kayaknya tiap kota di Indonesia pasti ada aja yang rusaknya.
    Apa perlu gua buat #savebandung kali yeeee? 😀

  3. @Felicia
    hehehe..jakarta belum segitu rusaknya, fel. masih bisa dibawa ke bengkel 😀
    sok atuh bikin #savebandung..gw dukung:)

    @wulan
    ga ada apa2 antara gw sama jakarta, ul..beneraan sunpaah ga ada apa2..awas jangan menebar gosip yah..:D

  4. dan konsep Jakarta Greater City itu suck!
    mestinya jangan semua dibebankan ke Jakarta. mestinya kota-kota lain juga bisa dibebani juga dengan perniagaan, bisnis, komoditas, infrastruktur, sehingga konsentrasi Indonesia tidak hanya ke Jakarta, saveJakarta, love Jakarta or anything, lah!
    biarin aja Jakarta yang udah sumpek ini gak usah ditambah2i jalan layang ato apapun. kembangin dong potensi kota2 lain, dan tonjolin identitas dirinya dan perekonomiannya. jangan cuma mengekor Jakarta yang mau dijadikan tolok ukur? memangnya berhasil? buat kota-kota lain jadi magnet perekonomian juga.

    note : tolak target 200 mal di jakarta. sekarang sudah terlalu banyak..

  5. blom sempet kasi komen yg panjang, tp yg pasti gw udah nyerah sama kota ini kira-kira 2,5 taon yg lalu. tggu komen lgkp nya yak….

  6. hehe..iya, wen, kota ini emang udah bikin nyerah banyak orang. kita bukan yg pertama dan terakhir..:-p
    oke ditunggu komen dahsyatnya yaa..thx b4:-)

  7. @Indri

    iyalah, dri, gw setuju pendapat lo. pemerataan ya intinya. bangun juga kota lain.
    dan gw juga ga setuju klo ada target 200 mal itu..

Leave a comment