P16 Air vs P46 Air, judulnya

Capung Sunset

Kalau kau pernah naik kapal terbang—entah itu maskapai Perkutut Air atau Capung Air—tentu kau pernah merasakan yang namanya sensasi kejutan sesaat sebelum kapalmu berangkat lepas landas melayang di udara. Sensasi kejutan itu bisa membuat kita sedikit menahan nafas sesaat-dua saat. Seperti apa rasanya? Pertanyaan seperti ini mungkin sama maknanya ketika kita harus menjelaskan lezat dan maknyusnya makan es krim kepada orang yang belum pernah makan es krim. Artinya, singkat kata, rasanya sulit dilukiskan. Ya, meski sensasi kejutan itu hanya berlangsung sesaat dalam hitungan detik, tapi sulit menjelaskannya dengan kata-kata. Apakah “rasa” punya kata dalam bahasa manusia?

Dan selepas merasakan sensasi sesaat itu kita pun akan turut merasakan seperti apa rasanya melayang terbang di udara. Tidak seperti burung memang–yang bisa melakukannya tanpa bantuan mesin. Dan juga tidak seperti Doraemon yang bisa melakukannya dengan bantuan baling-baling di kepala. Tapi tentunya sensasi terbang itu cukup membuat kita merasa senang sekaligus bangga pernah melayang di udara. Toh setiap orang dalam hati kecilnya pasti pernah punya keinginan bisa terbang seperti burung, capung atau Superman bukan?

Nah, kalau kau sudah paham seperti apa rasanya sensasi kejutan sesaat di kapal terbang itu, maka percayalah, jangan pernah tega-teganya kau samakan sensasi kejutan itu dengan sensasi kejutan jika kau naik P16 Air yang berupa kopaja jurusan Tanah Abang-Ciledug atau sebangsa metromini di jalanan Ibukota. Percayalah, kau akan merasakan sensasi kejutan yang super berbeda ketika naik kopaja atau metromini itu. Begitu juga dengan jutaan warga Ibukota yang lain. Meski istilahnya sama-sama sensasi kejutan tapi rasanya jelas ibarat langit dan bumi. Ada rupa ada harga, kata orang. Boleh juga ditambahkan: ada rupa ada harga dan ada pula selera. Kalau sudah bicara soal selera maka jelas selera masing-masing kepala boleh jadi akan sangat berbeda.

Tak usah bicara dulu soal selera. Bicara soal harga pun akan sangat jomplang. Bila ingin merasakan sensasi kejutan di pesawat terbang tentu kau harus membayar sejumlah ongkos seharga tiket pesawat yang jelas-jelas beda kelas dengan ongkos naik kopaja P16.

Hentakannya? Jangan dulu bertanya tentang hentakannya. Karena sangat boleh jadi–meski belum pernah diteliti secara ilmiah di laboratorium manapun—hentakan di P16 Air ini kemungkinan bisa membuat orang hamil langsung tidak jadi melahirkan atau mereka yang tadinya kebelet buang air atau angin otomatis menjadi sirna keinginannya atau justru sebaliknya, mereka yang sedang kebelet bisa langsung terkabulkan keinginannya saat itu juga, detik itu juga hampir tanpa jeda.

Bahkan sesekali, atau seringkali, ketika P16 Air ini melaju seperti dikejar setan melewati jalanan bergelombang, maka kita juga bisa merasakan sensasi terbang sesaat alias melayang alias terlempar dari jok tempat kita duduk dan sesaat kemudian terhempas keras, mendarat terjengkang bukan di posisi kita sebelumnya. Bersyukurlah lekas-lekas jika tak ada organ tubuh yang berpindah dari tempatnya.

Selain cara mengemudi dan tabiat sopirnya yang memang rata-rata brengsek, jenis angkutan P16 ini pun sebetulnya lebih mirip rongsokan besi berjalan yang sudah uzur dan lebih pantas masuk liang kubur.

PPD 46

Lain P16, lain pula P46. Untuk ukuran angkutan umum selain busway atau taksi, bis umum P46 jurusan Kampung Rambutan-Grogol ini memang memiliki tampilan sedikit mendingan ketimbang kopaja P16. Konon menurut bisik-bisik tetangga, bis P46 ini adalah warisan dari negeri samurai, Jepang. Di bagian interior bisnya pun memang masih tertera tulisan huruf-huruf kanji Jepang.

Tapi benarkah bis ini memang warisan dari Jepang? Apa perlunya memastikan dari mana asal-usul P46 Air ini? Memang rasanya tak perlu benar orang tahu asal-usul bis ini. Toh perkara asal-usul bis ini tak pernah sepelik dan sepenting silsilah keturunan Raja-raja di Jawa.

Tapi baiklah. Untuk memastikan bisik-bisik tetangga itu rupanya internet bisa memberi jawab. Hari gini teknologi informasi global yang satu ini memang selalu jadi andalan dan hampir selalu terbukti bisa diandalkan. Laporan ilmiah yang bisa dibaca di internet itu antara lain seperti berita dari Tempo Interaktif pada 2004 lalu:

Tahun ini Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) membeli 55 bus

bekas dari negara Jepang. Sebenarnya program awal Perum PPD adalah

membeli 100 armada bekas dari Jepang, namun karena tidak memiliki

dana program itu diurungkan.

Demikian dikatakan Kepala Divisi Hukum, Humas dan Organisasi Tata

Laksana Perum PPD Safrudin Dahlan kepada Tempo News Room saat ditemui

di ruang kerjanya, Kamis (1/7).

Safrudin mengatakan, pada saat awal PPD telah mengoperasikan 30 bus

sejak tahun 2001. Pada tahun ini, tepatnya 5 Juli, Perum PPD

mendatangkan lagi 55 bus bekas dari Jepang. Merek bus tersebut antara

lain Mitsubishi, Isuzu, Hino, dan Nissan. “Ke-55 bus itu saat ini

telah berada di pool PPD,” kata Safrudin.

Menurut Safrudin, 30 bus Jepang yang saat ini beroperasi berasal dari

Departemen Perhubungan yang mendapatkannya dari hibah pemerintahan

kaisar Jepang. Selama dua tahun beroperasi, tambahnya, bus Jepang

tersebut belum pernah mengalami kerusakan yang fatal. Disamping itu,

kalaupun ada kerusakan, onderdil dan suku cadangnya mudah didapat di

Indonesia karena kebanyakan mobil yang dipasarkan di Indonesia

berasal dari Jepang.

“Itulah yang menjadi alasan kenapa kita membeli bus bekas dari

Jepang. Di samping tentunya ada pertimbangan ekonomi dan teknis,”

ungkap Safrudin.

Armada bus PPD saat ini sudah berusia di atas 10 tahun. Padahal, umur

maksimal bus untuk masih bisa beroperasi adalah tujuh tahun. Menurut

Safrudin, setiap satu tahun sekali bus PPD dilakukan uji emisi. Hal

itu dilakukan bersamaan dengan waktu kir mobil. “Selama ini tidak

terjadi masalah dengan armada dan awak PPD,” ujarnya.

Perawatan armada PPD, menurut Safrudin, menjadi tanggung jawab

bersama antara staf kantor, awak, dan teknisi Perum PPD. Saat ini

terdapat 700 armada bus PPD, 1.563 sopir, 912 kondektur, 1.088

teknisi, dan 1.640 staf kantor.

Demikianlah sepotong berita di internet memberi jawab.

Nah, meski tampilannya memang lebih mendingan dibanding kopaja atau metromini tapi jangan dikira bis P46 ini terbebas dari cela dan steril dari dosa. Bagi mereka yang sudah makan asam garam menaiki P46 Air ini pastinya ada banyak kisah komedi konyol atau menegangkan yang terjadi di dalam bis ini. Misalnya saja ketika P46 yang penumpangnya sedang penuh ini direm secara mendadak tanpa permisi maka kepala seorang penumpang mungil yang sedang berdiri bisa tiba-tiba mendarat nyangkut di ketiak penumpang lain. Apa boleh buat, bagi penumpang bertubuh mungil ini wangi buah kesturi busuk mungkin jauh lebih mendingan ketimbang aroma ketiak tempat kepalanya mendarat.

Belum lagi di P46 Air ini juga tidak jarang terjadi tindak kriminal kelas teri seperti pencopetan. Pernah suatu kali, kata laporan pandangan mata dari seorang saksi mata, ada seorang bule warga negara asing yang nekat naik P46 ini. Di harinya yang naas itu dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana pencopetan itu berlangsung secara live persis di depan hidungnya. Spontan si bule ini berteriak dengan gagahnya seperti pahlawan kesiangan, “Heiiiiii, Pak sopirrrrrrrr.. hentikan mobilnya! Ada pencuri di bis Anda. Penumpangggggg hati-hati ada pencuri! Awas hati-hati tas Anda!” Tapi sayangnya, tak seorang penumpang pun mau peduli dengan peringatan si bule. Ya, itulah warga Jakarta.

Kejar Setoran = Dikejar Setan

Sesungguhnya semua yang terjadi di atas P16 Air maupun di P46 Air ini secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan perilaku, tabiat dan keberadaan sang sopir. Dan yang namanya sopir rumus hidupnya selalu sederhana: urusan perut di atas segalanya. Tak peduli penumpang yang dibawanya harus jungkir balik terjengkang, kecopetan atau berdesakan, yang penting semua adalah demi kejar setoran. Maka demi kejar setoran mengemudikan kendaraannya seperti dikejar setan pun menjadi tak masalah, bahkan sangat mungkin dianjurkan. Pada intinya memang semuanya sama belaka: kejar setoran.

Ya, kejar setoran, memang. Dua kata itu seolah jadi mantra sakti yang tak seorang sopir angkutan lulusan manapun sanggup melawannya. Dua kata itu menjadi perangsang, pemicu utama sekaligus penggugah jiwa bagi para sopir. Dua kata itu juga adalah penyemangat sekaligus ancaman kelangsungan hidup. Dan dua kata itu memang sudah jauh tertanam di kepala masing-masing sopir angkutan. Tak seorang malaikat pun bisa mengubahnya, apalagi manusia. Memang sudah begitu dari sononya. Hukum alam memang kejam, dan seringkali tak tertandingi hukum bikinan manusia.

Karena bagi sang sopir urusan perut tak pernah ada demokrasinya dan tak pernah ada hubungannya dengan masyarakat yang masih primitif, atau belum beradab dari segi peradaban.

Pada akhirnya, entah itu di P16 Air, P46 Air, maupun di maskapai yang lain, penumpanglah yang lagi-lagi jadi korban dan dipaksa harus memaklumi sambil mengurut dada karena kenyataan yang ada.

Pandasurya

Jakarta, Mei-Juni 2008

3 thoughts on “P16 Air vs P46 Air, judulnya

  1. Hi… I’m coming (again)… Gw bela2in ni tengah malam buta gini “berkunjung” ke lo sbg rasa trima ksh gw ke lo yg dah mau denger curhat gw slama 1 jam…

    eh,cerita lo yg ini lucu bgt.. klise sbenernya, dah kjadian gak aneh tp “fresh” aja… buat yg lagi bete di tengah malam buta kaya’ gw gini, bisa jg cekikikan tertahan ngbacanya… seru…

    kalo baca cerita lo yg ini, gw tau ni “guru”nya siapa… ktauan de kiblat lo… gaya2nya dah hampir nyamain ni… dah mulai kliatan…
    Yang “itu”kan???? Itu tu yg suka lo bangga2in ke gw…
    Yaa kaaannnnn…..???????

  2. hehehehe….bisa aja lo,ya:) emang beneran ketauan kiblatnya? siapa? di mana? 🙂
    wah hampir nyamain “guru” gw? sumpe lo?! emang siapa “guru” gw?:)
    duh gw jadi ga enak, terharu..hiks..hikss.. lo bela2in tengah malem cuma mo buka blog gw..ampe segitunya lo..:)
    Well, makasi bgt ya komennya..
    emang beneran lucu ya tulisan gw ini? huehehe..:D

Leave a comment