Puisiku

jekardah

dari negeri tepian, jekardah akan tampak serupa negeri bayang-bayang, an.
orang-orang terlupa dengan bayangannya sendiri.

welkam tu jekardah, katanya.
dan dari seberang jalan itu dia akan datang menjemputmu.
melambaikan tangan dengan senyum pahit masa lalu.
Gerimis turun perlahan siang itu.

kau berdiri terdiam beberapa saat
dan beberapa saat lagi.
menyadari betapa senyuman bisa kehilangan arti di saat-saat seperti ini.
mendung batin menghampiri.

mungkin hanya di kota imajiner semacam ini
orang-orang pernah merasa kehilangan bayangannya sendiri.
tak ada yang peduli.
waktu tak punya arti lagi.

dan kau membayangkan, di trotoar senja itu orang-orang akan berjalan dalam gerakan lambat
dengan langit senja yang disepuh warna sepia.

hidup tak berarti apa-apa, an.
tak pernah apa-apa.

sampai jumpa, sambutnya.

(April-Mei 2012)

 

Ada yang lebih dari

sekelam apa pun hidupmu,
ada yang lebih leluasa dari pagi.
malam namanya.

segetir apa pun nafasmu,
ada yang lebih tenggelam dari malam.
angan namanya.

sedalam apa pun anganmu,
ada yang lebih malam dari gelap.
terang namanya.

seberat apa pun matamu,
ada yang lebih luas dari langit.
kasur namanya.

seluas apa pun malammu,
ada yang lebih mewah dari waktu.
tidur selamanya.

tidurlah, an.

separah apa pun lukamu,
ada yang lebih ringan dari kapas.
pikiran namanya.

dan seringan apa pun langkahmu
ada yang lebih berat dari hari.
pikiran namanya.

di sana, sejauh pandangan mata,
ada yang lebih jernih dari mataair.
airmata namanya.

dan di sini, di dalam sini
ada yang lebih tenang dari danau.
sentuhan namanya.

(Maret-April 2012)

 

Terang-gelap

Rasanya tak pernah ada cukup waktu, an,
untuk mencerna dan meresapi semua yang terlewati setiap hari.
Seperti tak pernah ada hari ini..

Dan pada akhirnya
yang terang tak selamanya bunyi, an
yang gelap tak selamanya sunyi.

Malam bersahabat dengan diam.

(Feb 2012)

 

Malam

Ini malam. Seperti hujan kemarin.
Sepanjang malam, an.
Sepanjang ingatan yang diam
Tiap hujan punya jejaknya sendiri
Jejak lupa yang kelam

(Feb 2012)

Pada Celah

Pada celah di antara tumpukan buku-buku
Ada ruang yang terbentang antara kau dan aku
Setumpuk kenangan mengendap di sudut ingatan
Menunggu waktu ketika kata menjelma tulisan
Sementara kita berbaring di sini
Bercumbu dalam pelukan paling sunyi

(Agustus 2011)

Biru Sore

Orang-orang bicara tapi tak ada suara
Hanya kuterima suaramu
Seperti lagu sendu sore itu—tanpa suara
Dan kita duduk-duduk di sana
Di biru sore yang teduh
Suara batin berbisik:
Kaulah sunyi itu

(Juli’11)

Hening tak bisa ditulis

Siang itu, hening sunyi di bukit batu
Terdiam kata kau & aku
Sementara kota bunga terhampar di bawah sana
pada suatu hari yang mungkin

Daun-daun gemerisik dicumbu angin
Batu-batu membisu dalam hening
Tapi Langit tersenyum di atas sana
Ada yang tak terucap oleh kata

Hening tak bisa ditulis..

(Juli 2011)

Jejak Luka

Untuk N

Ini kali ada masa
mungkin pernah dia bertanya
pada air, pada mata
pada mantra yang tersisa
pada segala yang tampak serupa
tapi tak pernah sama
langit yang itu-itu juga

Berita hari ini
sesal hari kemarin
seolah luput dari jangkauan

dan ingatan letih di pojok sana
perlahan hadir
seperti hendak bercerita tentang getir
: jejak luka manusia

(Mei 2011)

Awalan-Akhiran

+ Awalnya mungkin iya. Tapi setelah itu?
Adakah bedanya awalan dan akhiran? Haruskah ada beda?
Di mana batas itu?

– Yang membedakan adalah di antaranya..

(Oktober, 2010)

Dan Malaikat pun..

a.k.a. Fight Club

Dan setelah semuanya
segalanya sedang menuju kehancuran

9..
8..
7..

Lalu kau membaca Fight Club
dan seperti tersadarkan bahwa
dunia tak pernah seperti yang kaubayangkan
ada dunia lain di luar sana
dan di dalam sini
: gelap yang luput dari kata
gelap yang terlalu menyilaukan

kau bertarung hanya untuk bertarung
berduel dengan orang yang tak pernah kaukenal sebelumnya
: dirimu sendiri
bagaimana kau mengenal dirimu jika kau tak pernah bertarung?
ini bukan soal kalah-menang
pertarungan tak sebanding dengan kata
kau bertarung hanya untuk bertarung
tak ada yang selesai setelah bertarung
tapi juga tak ada lagi yang masih penting

Jika kau tak pernah bertarung
kau bertanya-tanya tentang luka
tentang dunia yang terlalu sempurna
keindahannya, kebusukannya
orang-orang yang serba tau segalanya
matilah dengan segala yang kautau**, katamu
matilah dengan segala kemungkinan
ini tentang mimpi yang tak pernah jadi nyata
gelap yang terlalu menyilaukan

Dan suara-suara yang kau dengar selalu berkata:
“jangan pernah mengharap mati tanpa bekas luka”

6..
5..
4..

Ya, kau tau, ini tentang penghancuran diri
Total. Jenderal. Sampai batas tak berbatas.
Infinity. Definitely.
mungkin kita harus menghancurkan segalanya
untuk menjadi lebih baik
dan tak seorang pun berhak menentukan
seperti apa ‘menjadi lebih baik’ itu

kau marah
kau berdarah
Ya, kau berdarah
tapi jangan pikirkan bahkan sekadar kata “sakit”
Tak ada yang peduli apakah kau hidup atau mati
tak ada bedanya
dan rasa itu menyenangkan
Bencana dan keberuntungan sama saja***

3..
2..
1..

Luka.
Bahagia.
Semuanya terlalu sempurna
tapi tak berarti apa-apa
tak pernah apa-apa
berujung segalanya

(Pandasurya, Juli-Agustus 2010)

*lirik lagu Malaikat–The Milo
**komentar Putu Wijaya di back cover Supernova–Dee
***bait puisi Rendra

Padang Ilalang

Padang ilalang alang-alang
terlalu tinggi menembus awan
gelap
pekat
hitam
hampa tanpa ruang
tak kenal cahaya

Seperti berjalan di tengah hempasan gerimis pagi
sepi
sendiri
matahari disayat tipis-tipis

(Juli’10)

Mengheningkan C.i.n.t.a

Ketika hati tercabik, bagaimana bunyinya?

Yang perih, yang getir
Yang berakhir getir, berawal luka

Yang kelam, yang terpendam
Yang galau, yang kacau
Gelap yang teriris paling gelap,
Yang tercabik-cabik
Dikoyak rapuh. Retak
Digilas remuk. Pecah berkeping

Semua ada di sini
Semua berkumpul di sini
Menggelegak di sini

Dan kata-kata lebur di sini
Di hening yang terdalam

Ketika hati tercabik, bagaimana bunyinya?
Jemuran Februari

Biru langit pagi ini
pagi Februari
mungkin hujan sore nanti
don’t you see?

orang-orang bergegas dalam bayang
teringat gambar Satrapi
tapi pagi ini bukan pagi revolusi
cuma antrian panjang periuk nasi dan lupa diri

sambil menunggu mati

mengapa pilih jalan yang sulit
seolah tak ada ruang ‘tuk berkelit?
dan buat apa juga pelit
maut mengintai setiap detik

Seperti katamu malam itu,
“Yang membedakan bukan bagaimana kita lahir dan menjalani
tapi seperti apa kita ‘kan mati”

Sebab cinta yang baik, tak cuma untuk hari ini
tapi juga buat nanti

semoga jemuranku kering hari ini

(Nov ’09-Feb’10)

Pada Suatu Hari yang Tak Mungkin

Pada suatu hari yang tak mungkin
Setelah menempuh perjalanan jauh ke dalam batin
Kita berdua ‘kan duduk di sini
Di tepi telaga ini
Dilingkupi angin segar pagi hari
Dan hijau pepohonan menemani

Tapi karena jarak,
Ya, karena jarak
Kita terpisahkan berjauhan
Kau di seberang telaga sana
Aku di seberang sini
Namun tak ada jarak batin di antara kita

Lalu kita ‘kan saling bertatapan dalam diam
Seperti yang kau inginkan
Tapi kita tau, batin kita berbicara dalam seribu bahasa
Yang seluruhnya hanya bermuara pada satu makna:
Kata orang itu “cinta”
Atau prasangka belaka?
Atau bukan keduanya?

Kita berbincang panjang tentang kehidupan
Tentang dunia yang rawan, dan
negeri di atas awan
yang langitnya berhiaskan bintang-bintang
Matahari dan pelangi selalu setia menemani
Juga hujan, seperti yang kau inginkan

“Hidup adalah bagian terbaik dari mati*,” katamu lirih
Aku mengangguk tanda mengerti, seraya menimpali dalam hati,
“Dan kau adalah bagian terbaik dari mimpi*”

Pada suatu hari yang tak mungkin
Kita berdua kan duduk di sini
Di tepi telaga ini
Dan kali ini
kau ada di sampingku
kepalamu bersandar di bahuku

sementara bumi hanyalah sebutir debu di telapak kaki kita..**

(Oktober’09)

* Puisi Isma Sawitri, Selendang Pelangi h.38
**Perahu Kertas,Dee. h.312

Ay Lop Yu Pull..

Hari belum lagi siang
ketika kabar itu datang
“Mbah Surip dipanggil tuhan
karena tuhan juga butuh hiburan”

Oh ya? Kata siapa?
Kata malaikat di pintu gerbang
“Tuhan juga pengen digendong sama mbah Surip”, katanya

bener toh? mantep toh?
Bahkan tuhan pun butuh dihibur sama Mbah Surip
Bahkan tuhan pun pengen digendong sama Mbah Surip

Maka kalau ada yang bertanya
apa arti bahagia sebenarnya?
ingatlah sosoknya yang lugu, sederhana,
apa adanya

dan kalau kau sempat bertanya padanya,
Where are you going, mbah?
tentu dia akan menjawab:
Walking..I am walking, my darling..

(Mengenang sosok paling bahagia yang pernah hidup di dunia,
sosok paling tulus, lugu, sederhana, apa adanya..
dan ketawanya yang tiada duanya..
Mbah Surip, 5 Mei 1949-4 Agustus 2009)

Bangku Taman

di suatu senja tak berangin
dua orang kawan lama bertemu tak sengaja
setelah sekian lama tak berjumpa
sebuah bangku taman jadi saksi perjumpaan
perbincangan pun digelar :
kisah klasik tentang garis nasib yang berlainan
satu preman,  satu lagi bajingan

perbincangan berlangsung lama tanpa jeda
tak terasa waktu mengalir ke ujung senja
matahari beranjak tenggelam segera berganti bulan
hari mulai malam
perbincangan memasuki “injury time”

sebagai muara percakapan,
pertanyaan pamungkas dilayangkan,
“Ngomong-ngomong, kau masih percaya Tuhan, Jon?
“Maaf, bukan maksudku bila menyinggung perasaanmu”,
seorang di antara mereka bertanya penasaran.
Nada suaranya sendu, bergelimang ragu.
si Jon yang ditanya diam saja. Tak ada jawaban keluar dari mulutnya.
angin mati. alam membisu.

setelah hening menunggu, bening suara pun lahir,
si Jon menjawab,
“Kau tahu apa yang paling menakutkan dalam hidup?”
pada kawannya dia justru balik bertanya
(rupanya kodrat pertanyaan memang melahirkan pertanyaan)
giliran sang kawan kini terdiam
ia memikirkan jawaban, menyelami inti pertanyaan
apa maksudnya? ke mana arah perbincangan?
Tak lama berselang, dengan suara sendu
si Jon menjawab sendiri pertanyaannya,
“Hal yang paling menakutkan dalam hidup, kau tahu?”
matanya menerawang ke arah bulan
“adalah tidak mengetahui di mana tempat kita di dunia.
Tidak tahu untuk apa kita ada”.*

kini sang kawan tercenung diam-diam
ada yang berdesir dalam dadanya
hati bergetar, sunyi tanpa kata
mengangguk ia, masih dalam tanda tanya

akhirnya
dua karib saling mengucapkan salam perpisahan
mereka pergi meninggalkan bangku taman
sendirian, hening dalam pelukan malam
seperti sebelumnya. Seperti selamanya..

di sekeliling angin tetap mati. alam membisu.
dan bulan? bulan masih terdiam
andai Langit bisa bohong

***

sedari tadi di bangku taman itu
sebenarnya si Jon hanya bicara sendirian
ternyata ia memainkan 2 peran
tapi ini bukan akting
dan ia bukan aktor idaman yang sedang latihan
Ini juga bukan dongeng betulan
hanya cerita bohong-bohongan

sekadar ungkapan pengembaraan pikiran
sekaligus pertanyaan abadi
renungan tak bertepi

(Agustus’04-Juli’09)

*kata-kata dari film Unbreakable (2000)
dibintangi  Bruce Willis, Samuel L. Jackson, Robin Wright Penn

Kenapa Membaca Sastra?

Di suatu masa, entah kapan dan di mana
Seseorang mungkin akan bertanya kepadamu,
“Kenapa dirimu membaca sastra?”

Dan inilah jawabmu:
“Karena sastra, yang pertama dan utama, memberi pelajaran tentang hidup
Pelajaran yang tak didapat di ruang-ruang kelas mana pun

Karena sastra adalah seni
Seni bercerita, seni kata, gaya bahasa, pilihan kata,
cara pengungkapan penuh makna

Karena sastra bisa mengetuk pintu hati untuk sampai pada kesadaran
Kesadaran tentang hidup dan kehidupan, tentang kenyataan
tentang ketulusan
tentang diri dan orang lain
tentang kemanusiaan dan dunia
tentang alam semesta, Tuhan dan cinta
dari bilik sunyi hingga ke kedalaman samudra
dari gelapnya rimba belantara hingga ke batas cakrawala

Karena sastra juga berarti menata hati dan pikiran,
segenap panca indra, jiwa dan raga
Karena sastra memberi hati pada duka luka
pada kepedihan, penderitaan dan kebahagiaan
Karena sastra menerbitkan tangis dalam tawa

Selalu ada masanya sastra bisa memberi rasa
bagi mereka yang mati rasa
atau sekadar mencoba berdamai dengan rasa hampa
karena sastra memberi cahaya

Karena sastra menyentuh relung jiwa, menginspirasi sanubari

Dan karena sastra memberi getar pada hidup..”

(Jakarta, Mei-Agustus’09)

Kasihan deh Endonesa..

Kesimpulannya jelas, sejelas matahari di siang bolong:
Media massa boleh hiruk pikukregistrars_no_vote
Politisi makin busuk
Koalisi partai boleh ramai
Capres dan cawapres tebar pesona
Tapi rakyat?
Rakyat tak peduli itu semua
Karena mereka muak dan kecewa
Angka 49,6 juta golput adalah bukti nyata

Ya, pada akhirnya Pemilu mengajarkan pada kita
“Apa arti kecewa yang sebenarnya”
Kasihan deh Endonesa..

(Jakarta, Mei’09)

Langit Jakarta

Pernah sekali kulihat
Matahari begitu bulat, merah menyala
di atas langit Jakarta

Sore waktu itu
dan angin begitu kencang
meniup segala-gala
bukan cuma sampah atau polusi
tapi juga angan-angan, impian
dan harapan banyak orang

berjuta-juta orang kalah
dikalahkan kenyataan
dijajah keinginan

mengais recehan
mengais kehidupan

kata orang: penjara pikiran

penjara abadi
ilusi
imajinasi

(Mei’08-Mar’09)

Tanah Air

Seingatku, suatu kali Pramoedya pernah bilang,
“karena kau lahir, tumbuh, hidup dan bekerja di sini
–tanah airmu,
kau juga makan dan minum dari tanah negerimu,
dan kelak kau pun mungkin akan mati terbaring di tanah ini
–tanah tumpah darahmu,
maka itu sudah lebih dari cukup sebagai alasan
untuk mencintai negerimu..”

(Nov’08)

Sjahrir (Nusantara)

Lalu Sjahrir berdiri di atas kapal
di tengah lautan perak bercahaya
matanya menerawang jauh
ke batas cakrawala
Ia merenungi nusantara

Dan sedjarah akan menulis, disana :
diantara benua asia dan benua Australia
antara lautan teduh dan lautan Indonesia,
adalah hidup satu bangsa yang mula-mula mentjoba
untuk hidup kembali sebagai bangsa

achirnja kembali mentjadi satu kuli diantara bangsa-bangsa
–kembali mentjadi een natie van koelis,
en een koelis onder de naties*

*Soekarno, Tahun Vivare Pericoloso, 17 Ags 1964, Tempo 16 Jan 2000

(Nov’06)

Hari Pendidikan

Ini hari pendidikan memang
Mungkin benar
Pohon berguru pada batu
Bunga mekar belajar dari akar
Serupa harapan di waktu samar

Dan air langit akan bertemu tanah
Setelah itu becek
Jalanan licin

Sungai kan meluap
Banjir pun tumpah
Dan anak-anak akan berangkat ke sekolah
dengan berenang
berenang menyeberangi sungai masa depan

(Mei ’07)

Pramoedya, Multatuli, dan Kartini

Mungkin Pramoedya pernah membayangkan:

Kartini duduk terdiam merenung
Dalam renungannya ia dengarkan suara humanis Multatuli:
“Tugas manusia adalah menjadi manusia…”

(April-Sept ’06)

Desember

Ini hari
Mendung sedari pagi
mungkin hujan sebentar lagi
gerimis dalam hati

(Des’07)

Sabda Ibunda

Tentu kau masih mengenangnya,
ketika ingatanmu menjangkau masa lalu

Di suatu sore yang cerah secerah pagi
ibundamu bersabda lirih,
“Apa pun pilihan hidupmu, nak
jujurlah pada diri sendiri
jangan khianati hati nurani.”

Dan di lubuk hatimu yang terdalam
kau pun tahu
ibunda tak pernah minta lebih dari itu

(Februari 2004)

Tempurung

Di luar sana
dunia masih luas terbentang, kawan

dan di sini
di dalam tempurung sepi
kita dijajah pikiran

“Free
………..Your
…………………Mind..”

(Nov 2008)

Ashes and Snow

Dan kau pun berbisik kepadaku
“Pejamkanlah matamu
biarkan aku bercerita tentang langit senja yang sephia
tentang gurun yang mengabarkan keheningan”

Di hamparan pasir itu
kau bertapa bersama Cheetah
bersama alam yang diam
Tak ada awal tak ada akhir
waktu beku seolah tak hendak berlalu

Kau menari bersama angin
tarian tanpa nama
kaulah pasir itu
kaulah hening itu

Dan kau bercerita tentang gajah
tentang langit yang jadi rumah mereka
gajah-gajah itu dulunya bisa terbang, katamu
dan tiap malam mereka tidur di atas awan

kukatakan kepadamu
ceritakanlah tentang keindahan
tentang air yang mengalir damai

dan di kedalaman samudera
kau menari bersama paus
tarian indah keheningan
kaulah tarian itu
kaulah sunyi itu

tak ada awal tak ada akhir
dengarlah kepak sayap burung-burung
dan nyanyian tak bersuara
serupa bidadari baru turun dari surga

kau menari bersama angin
hanyut dalam hening..
sunyi
tenang
damai

(November 2008)

Mendung

Bandung mendung pagi ini
dan lagu di bis kota itu bilang,
“Mendung tak berarti hujan..
yakinlah itu suatu cobaan..”

tapi aku tak tahu apa arti cobaan hari ini
aku juga tak tahu apa arti hujan esok hari
mungkin tak seorang pun akan tahu

yang kutahu hanyalah
langit makin mendung
dan hawa jadi dingin

konon, pencerahan selalu dimulai dari gelap, kawan
begitu kata orang
tapi mungkin itu juga ilusi
mungkin itu cuma kata-kata hiburan

Ada makhluk-makhluk, seperti kelelawar,
yang hidup dalam gelap dan tak menyukai terang
*

(Oktober 2008)

*kalimat Ayu Utami dalam novelnya Larung

Katrina

(teringat Oprah Winfrey..)

Setelah amukan badai yang meluluh lantakkan negrinya
seseorang mungkin akan bertanya pada perempuan itu
“Bagaimana mungkin kau akan melewati ini semua?”

Dan di antara puing-puing rumahnya
dan mayat-mayat yang tersisa
perempuan itu akan menjawab
dengan segaris senyum di bibirnya,
“I can live without nothing..”

(Oktober 2008)

Bertemu Nelson Mandela

Perjalanan dari B ke F
dari Batavia ke Buitenzorg

Mendapatkan harta karun tak terduga
Buku otobiografi Nelson Mandela*
Buku yang sudah diincar dan diburu sejak lama
Sampai terlupa..dari sejak masih mahasiswa
Teringat mengobok-obok Palasari, Gramedia,
dan lain sebagainya
Dengan hasil akhir nihil sempurna

Sampai tiba di suatu hari kerja
tepatnya hari Selasa
Mendapatkannya secara iseng tak sengaja
Ketika melihat-lihat di toko buku Karisma
Di sebuah mal di Bogor entah apa namanya

(Selasa, 4 Maret 2008)

Pulang

Hamparan sawah
basah
tiang listrik di luar jendela
petir di luar sana

Berapa lama sampai ke surga?

What if God was one of us?
Just a stranger on the bus
Trying to make his way home..*

(Desember’07, di Bus, Jkt-Bdg)

Pagi ini seperti pagi yang lain
Kita akan bercerita tentang hari-hari yang berlalu
tanpa sedikit pun getar dalam hati

Sore itu kau berdiri di sana
menatap kosong ke arah jalanan yang basah
selepas hujan bulan Juli

“Jalanan seperti kaca,” katamu
“Orang-orang lalu-lalang, bergegas, begitu saja
silih berganti, datang dan pergi,
tanpa pernah bercermin
tanpa getar dalam hati

Dan tak seorang pun berani bertanya
untuk apa kita ada di dunia..”

“Mungkin sepi,” jawabku seadanya

Lalu kau berkata lagi,
“Pernahkah kau merasa
tidak pernah merasa..
Kosong..
seperti lagu Monty Tiwa*?”

“Itu hampa..,” jawabku

“Tapi coba lihat ke sana,” katamu lagi
“Di luar sana dunia masih luas terbentang
Terkadang memang, hidup hanyalah persoalan
menjalani hari demi hari
Berdamai dengan situasi
meski masih tanpa getar dalam hati”

“Ada kalanya perutmu bergejolak
seperti samudera*
, katamu
“Ada kalanya hatimu berkecamuk
seperti badai,” jawabku
..

“Bukankah sesuatu yang memberi arti
tidak pasti mendatangkan nasi?”**

Pagi ini seperti pagi yang lain
Orang-orang berlalu tanpa pernah bercermin

(Juli, dua ribu lapan)

**kata-kata dari Uncle Iroh di film Avatar
*** kutipan M. Sunjaya

Surga-Neraka

Langit itu Sore, kawan
Malam Itu Bintang
Kita berdiri di sini
Tanpa pernah tahu
ke mana Nasib akan mengalun

Mungkin ke surga
mungkin ke neraka
atau tidak keduanya

Manusia berusaha, katamu
Tapi Tuhan mengecewakan

(April ’08)

Tsotsi

Hari mulai petang
ketika kau bertanya kepadaku:
benarkah “hanya yang paling kejam
yang bisa sejahtera”?

Aku tahu kau sedang bicara tentang Tsotsi
Mereka yang hidup di garis ekstrim
hanya dengan 2 pilihan:
Membunuh atau Dibunuh
Mereka yang renungannya adalah kegelapan
Mereka yang akrab dengan kehampaan

“Nyawa itu murah, kawan,
pistol dan pisau berkuasa di malam hari,”
kata Nelson Mandela tentang negerinya

Kukatakan kepadamu
Mereka benar dalam segalanya, dalam apa adanya
dan mereka akan dengan senang hati
menjawab pertanyaanmu dengan darah

“Hanya yang Paling Kejam yang bisa Sejahtera..”

(Maret, ’08)

Kenyataan Hari Ini
Tak pernah memadai untuk sekadar disesali
Tangis dan tawa lahir terlalu pagi
Di sini
Di bawah langit yang sama
Kemanusiaan bertanya-tanya:
Di mana tempat kita di dunia?

(Sept ’06, Ramadhan)

Hening Pagi

Jauh di ujung sana,
di antara rimbun daun pepohonan
ada 2 jalan kehidupan:
Yang satu ramai dilalui orang
Yang lain hanya sepi ditumbuhi ilalang
Perjalanan panjang melelahkan
ke dalam diri tak bertepi
di mana air mata jadi doa
ketika sepi melampaui arti

(Okt ’06, Ramadhan-Nov ’06)


Dari Lubuk Hati

Matahari, bulan, bintang, kemarin, esok, sampai hari ini
Semua masa lalu yang akan datang dan pergi,
juga gunung, laut, jalan setapak pepohonan,
tanah dan sungai air mata kan bercerita tentang
segaris nasib, sejumput harapan, belajar dari kesia-siaan,

juga riwayat, sejarah, kadang gelap kadang terang
seperti pagi
yang terbit dari lubuk hati

(Sept-Nov ’06)

Banjir

Jangan menangis, nak
Jangan tambahkan derasnya banjir ini
dengan derasnya air matamu

(Feb ’07)


Sebaris Pagar

Sebaris
pagar kayu yang lapuk, miring, rombeng
ujungnya patah rebah ke tanah
diremuk zaman

Sebaris pagar dari kayu
tadinya tegak di tanah kering retak
kini rapuh layu
kerontang dipanggang matahari

Sebaris pagar, segaris batas, segurat nasib
kita di sini, engkau di sana
di mana mereka?

Di TV dan koran
orang-orang bicara soal pemerataan dan harapan
Adakah perubahan bisa dimulai dari sebaris pagar?

(November 2006)


Sungai Mutiara

Pernah suatu kali
seorang artis ibukota nan cantik jelita
datang ke sebuah desa terpencil nan luhur dan mulia
di sanalah ia mendapat pengalaman seharga mutiara

“jangan gunakan sabun, sampo dan odol
saat sedang di sungai,” kata seorang warga desa
“kenapa memangnya?,” sang artis bertanya tanpa dosa
“kasihan, Neng, nanti orang kota tak bisa minum dan memakai air
karena airnya sudah kotor,” jawab si warga desa polos nan lugu

sang artis pun berpaling tersipu malu
mengangguk ia tanda mengerti, terpana dalam hati
tak terasa matanya sudah berkaca-kaca
berkaca-kaca

(Juli 2006)


Sore itu

Ketika untuk pertama kalinya kau memunguti sisa-sisa dari puing-puing rumahmu

Aku masih ingat, kau pernah bercerita tentang pelukan terakhir seorang ayah pada anaknya di tengah kecamuk perang yang melanda sebuah desa nun jauh di sana, di seberang benua

Bukan, bukan pelukan terakhir itu yang membuatku teringat akan ceritamu, tapi pesan terakhir sang ayah pada anaknya yang masih terngiang dalam ingatanku:

“Selama kau di medan juang
ingatlah, nak
Langit itu luas
Langit itu untuk semua orang,
termasuk mereka yang tidak percaya Tuhan”

(Agustus 2006)


Kita belum mati

Banjir datang
Menerjang dan menerjang
Pukulan pertama

Harga-harga menggila
Melambung tak terjangkau
Pukulan kedua

BBM jadi makhluk paling langka
Mau masak apa?
Pukulan ketiga

Ini pesan bagi kehidupan:
Kita belum mati

(Feb ’07)


Mungkin perang adalah seperti
seorang prajurit yang menatap
temannya gemetar meregang nyawa
dalam pelukan di pangkuannya

atau mungkin tidak selalu seperti itu
mungkin perang adalah seperti sebuah ungkapan
yang ditulis di tembok kusam:

And when he gets to heaven
to Saint Peter he will tell:
“Just another soldier reporting, sir
I’ve served my time in hell”*

Mungkin perang memang ada dalam diri manusia
Seperti Plato yang bersabda,
“Hanya mereka yang mati
telah melihat akhir perang”

(Juli 2006)

*kutipan dari foto James Natcwey
di majalah Time Dec ’03- Jan’04


Arisan VS Taktik Dagang

Ya, mungkin saja selama ini kau benar
Semua orang terlahir ke dunia tanpa pernah menyadari
bahwa dirinya sempat menggoreskan tandatangan
pada selembar formulir kehidupan

Lalu entah di mana di suatu tempat (kita tak pernah tahu)
tiap lembar formulir itu dilipat dan digulung kecil-kecil
kemudian ditenggelamkan ke dasar cawan untuk diundi:
siapa yang namanya muncul dialah yang setor nyawa duluan
cukup adil bukan?

Lantas kau akan bilang-seperti juga orang lain akan bilang–,
ternyata hidup tak lebih dari sekadar arisan kematian
tiap orang pasti dapat giliran
entah esok, lusa atau sekarang

tak perlu cemas, kawan
sebenarnya ini bukan arisan
juga bukan lotere atau undian picisan
Ini murni taktik dagang:

ketik nama spasi jawaban kirim ke…
1001 malam

(April+Juni 2006)


Bandung

Ini Bandung kota tua, Tuan
Terlalu tua untuk berkaca pada kenyataan
Terlalu senja untuk merenungi kebisingan

Di hening Cisangkuy
pohon-pohon tua merintih pelan
Lirih serupa gumam
Dan orang-orang lalu lalang seperti biasanya
Tanpa desir dalam dada
Seperti tak merasakan apa-apa

Mungkin Tuan akan bertanya,
Ada apa dengan Bandung hari ini?

Di sela kesibukan Asia Afrika
Di tengah keramaian Merdeka
Orang-orang menanam impian di sudut jalan
Wajah-wajah melintas
menatap dingin

Dan ini Bandung yang gelisah
tak sempat damai dengan ramai
Bukan sepi, memang
Hanya timbunan harapan setengah tiang

(Sept ’05)

11 thoughts on “Puisiku

  1. *DARI LUBUK HATI*
    sejarah, kadang gelap kadang terang
    seperti pagi
    yang terbit dari lubuk hati…..
    (Menyentuh&Menginspirasikan)

Leave a reply to ismicitra Cancel reply